16 September 2007

HUMANISME/KEMANUSIAAN

Gagasan humanisme seperti yang kita kenal sekarang ini, berasal dari Eropa. Gagasan ini berkembang pada zaman Renaisance (Kebangkitan ilmu pengetahuan dan falsafah Yunani) pada abad ke-15 dan 16 M. Sekalipun demikian ide humanisme telah sejak zaman kuna berkembang dalam sejarah peradaban umat manusia. Di Tiongkok atau Cina telah muncul pada abad ke-5 – 3 SM, seperti digagaskan oleh Kon Fut Tze, Meng Tze dan Hun Tze. Di Yunani ide serupa pada abad yang sama digagaskan oleh Socrates, Plato dan Arustoteles. Agama Islam lahir pada abad ke-7 dan berkembang pesat pada abad ke-8 – 13 M. Filosof-filosof Muslim tidak ketinggalan mengembangkan gagasan humanisme pula. Di antaranya al-Farabi (abad ke-9 M), Ibn Sina (abad ke-10), Imam al-Ghazali (abad ke-11-12) , Ibn Rusyd (abad ke-13) dan Jalaluddin Rumi (abad ke-13). Mereka mendasarkan pemikirannya pada sumber-sumber kitab suci al-Qur’an, diperkuat dengan ide-ide dari falsafah Yunani dan Persia yang berkembang sebelumnya. Terdapat persamaan, sekaligus terdapat banyak perbedaan antara humanisme yang difahami di Eropa dengan humanisme yang difahami di Cina dan dalam Islam.

Kita mulai dengan perkembangan ide-ide atau pemikiran tentang humanisme di Eropa sejak zaman Renaisance. Tetapi perlu diketahui bahwa pemikiran seperti itu tidak muncul begitu saja tanpa munculnya ide-ide terkait lain yang mendahuluinya. Ide-ide yang terkait dengan munculnya humanisme dan pengaruhnya terhadap ide-ide lain yang juga terkait langsung dengan humanisme ialah:

  1. Gerakan Reformasi dalam tubuh Gereja Katholik. Pada abad ke-13 M muncul hasrat pembaruan di kalangan pemimpin agama Katholik untuk lebih membumikan ajaran agama ini, tetapi gagasan reformasi baru memperoleh wujudnya pada abad ke-16 setelah Renaissance.

  2. Sekularisme. Kata-kata ‘secular’ berasal dari kata seculum, artinya ‘zaman ini’, ‘masa kini’, yang kemudian diartikan sebagai ‘peristiwa-peristiwa masa kini’. Peristiwa-peristiwa masa kini bertalian dengan masalah keduniaan, sedangkan ajaran agama berkenaan dengan persoalan masa lampau. Karena itu kemudian ‘sekular’ atau sekularisasi berarti pembebasan manusia pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar/pemikiran, pandangan hidup, sistem nilai kehidupan dan bahasa manusia. Sekularisme dengan demikian diartikan sebagai “Paham atau pemikiran yang ingin melepaskan dunia dari pengertian-pengertian keagamaan dan religius-semu, terhalaunya semua pandangan-pandangan dunia yang tertutup, terpatahkannya semua mitos supranatural dan lambang-lambang sacral/suci keagamaan” (al-Attas 1981:19-20).

  3. Prostestanisme, yang lahir dari tafsir baru terhadap Bible, yaitu tafsir Ibrani (Yahudi); Cita-cita gerakan Reformasi memperoleh bentuknya pada awa abad ke-16 dalam pemikiran Martin Luther dan John Calvin, pendiri agama Prostestan (Kristen Protestan). Gereja yang mereka pimpin di Jerman dan Perancis memisahkan diri dari Gereja Katholik Romawi. Di antara yang mereka tolak ialah ajaran tentang ‘penebusan dosa’ oleh gereja. Dosa harus disandang secara individual dan ditebus dengan kerja keras. Berbeda dengan gereja Katholik yang menggunakan bahasa Latin dalam khotbah dan upacara keagamaan mereka, gereja yang beraliran Protestan menggunakan bahasa lokal. Di Jerman menggunakan bahasa Jerman dll. Ini menyebabkan berkembangnya bahasa-bahasa lokal menjadi bahasa nasional di Eropa. Dulu buku-buku keagamaan ditulis dalam bahasa Latin, kini ditulis dalam bahasa Jerman, Belanda, Perancis dll. Lantas gagasan nasionalisme tumbuh, begitu pula ide-ide berhubungan dengan kapitalisme.

  4. Nasionalisme. Nasionalisme adalah gagasan bahwa suatu bangsa yang menempati tanah air dan bahasa yang sama dapat membentuk negara kebangsaan (nation state). Penganjurnya yang awal antara lain lain ialah Machiavelli, ahli politik Italia abad ke-16. Gagasannya segera menyebar ke seluruh benua Eropa. Machiavelli bahkan menggagaskan bahwa suatu negara kebangsaan harus memiliki satu bahasa, satu ideologi negara dan satu agama. Lihat bukunya Il Principe..

  1. Kapitalisme dan gagasan tentang perbankan (banking) di bidang ekonomi. Orang-orang Yahudi menguasai perdagangan dan ekonomi di Eropa pada abad ke-16 dan 17 M. Mereka menguasai modal dan uang. Untuk menyelamatkan modal dan keuangan mereka, serta menggandakannya, maka dianjurkanlah faham kapitalisme dan sistem perbankan dengan bunga yang tinggi.

  2. Rasionalisme di bidang pemikiran falsafah dan keilmuan; Paham ini hanya mengakui kebenaran melalui bukti-bukti yang dicapai oleh akal budi manusia. Dengan sendirinya kebenaran ajaran agama dikesampingkan.

  3. Scientisme, positivisme, materialisme, naturalisme, dan evolusionisme dalam ilmu pengetahuan. Paham-paham ini merupakan lanjut dari rasionalisme.

  4. Sosialisme, komunisme, fasisme dan demokrasi liberal dalam bidang ideology politik dan kenegaraan.

  1. Individualisme;

  2. Scientisme dan posiivisme di bidang ilmu pengetahuan

  3. Individualisme.

  4. Relativisme di bidang etika, termasuk relativisme nilai-nilai; hedonisme, utilitarianisme, nihilisme dls.

  5. Kebebasan berekspresi dalam bidang kesenian dan kesusastraan, lain-lain sebagainya. Sebagian dari ide-ide/gerakan ini muncul mendahului gagasan humanisme dan sebagian lagi sebagai dampak langsung daripada humanisme. Muncul teori seni seperti “mimesis” karya seni adalah tiruan kenyataan (aliran realisme) sebagai kelanjutan teori Aristoteles pada zaman Yunani Kuna; dan teori “ekspresi” di mana karya seni dipandang sebagai ekpresi jiwa individual (impresionisme, ekspresionisme, surealisme dll).

Pengertian Umum Humanisme

Humanisme sepanjang sejarah pemikiran ide-ide di Eropa mengambil bentuk berbeda-beda, begitu pula dalam sejarah pemikiran di Tiongkok (Cina) dan Islam. Ini penting diketahui karena para perumus Pancasila seperti Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lain itu tidak hanya mendapat ilham untuk merumuskan sila-sila dalam PS dari ide-ide yang berkembang di Eropa yang mereka pelajari di sekolah-sekolah Belanda. Bung Karno misalnya mengatakan bahwa ide ‘humanisme’ dia pelajari dari gurunya di HBS Surabaya, A. Baar. Tetapi selain itu dia menerima ilham dari San Min Chu I, tiga landasan falsafah negara Tiongkok yang diasaskan oleh Sun Yat Sen, bapak nasionalisme Cina yang berjuang mengakiri kekuasaan Dinasti Yuan (Manchu) dan berhasil menjadikan Tiongkok sebagai sebuah republik pada tahun 1911 (pada tahun 1949 rezim Kuo Min Tang yang berkuasa digulingkan oleh rezim Komunis yang dipimpin Mao Zhe Dong).

Bung Hatta pula dalam memikirkan persoalan seperti humanisme, kerakyatan dan keadilan sosial juga banyak menimba ilham dari ajaran Islam dan budaya Indonesia. Misalnya tradisi ‘musyawarah’ (syura) dalam Islam yang dipraktekkan di Minangkabau. Tradisi ‘musyawarah’ dianggap sebagai prototype (bentuk awal) demokrasi yang dikenal oleh masyarakat Nusantara.

Adapun humanisme, walaupun bentuknya beranekaragam, pada umumnya memiliki tiga unsur seperti berikut:

  1. ‘Humanum’ yaitu gambaran manusia dalam hakekatnya dan kedudukannya di dunia. Hakekat manusia sering dikatakan sebagai pribadi merdeka, makhluq Tuhan, bahkan dalam Islam disebut sebagai Khalifah atau Wakil Tuhan di dunia. Kedudukannya selaku individu disebut ‘animal rational’ (hewan berakal, al-haywan al-natiq), ‘zoon politicon’ (binatang yang berpolitik), ‘animal symbolicum’ (binatang yang menggunakan symbol-simbol), ‘homo faber’ (makhluq yang senang bekerja), ‘homo eroticus’ (makhluq yang senang bercinta-cintaan) dls. Selaku individu itu manusia merupakan unsur utama dalam kolektivitas (kehidupan bersama manusia lain). Dengan kata lain ia disebut ‘anggota sosial’.

  2. Humanitas. Yaitu hubungan baik dan harmonis antara seseorang dengan manusia lain yang ditandai oleh kehalusan budi pekerti dan adab, pengertian, apresiasi, simpati, kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, dan lain sebagainya.

  3. Humaniora, yaitu sarana pendidikan untuk mencapai humanitas berupa ilmu pengetahuan budaya warisan berbagai bangsa, termasuk warisan budaya bangsanya sendiri. Termasuk bidang humaniora ialah ilmu-ilmu seperti sejarah, anthoropologi budaya, bahasa, kesusastraan, seni, arkeologi, falsafah/filsafat, ilmu-ilmu keagamaan, dan lain sebagainya.


Dalam sejarah pemikiran di Eropa paham-paham humanisme itu secara garis besarnya dapat dibagi sebagai berikut:


A. Humanisme Renaissance (abad ke-14 – 15 M)

Pengertian ‘humanisme’ pada periode ini dipengaruhi oleh cita-cita Renaissance seperti

  1. Hidupnya kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi (Graeco Roman) yang dianggap sebagai alternatif terhadap kebudayaan Kristen Abad Pertengahan (abad ke-12 – 13 M).

  2. Hidupnya kembali kebudayaan klasik itu mempengaruhi cara berpikir dan struktur kemasyarakatan pada masa itu.

  3. Karena kebudayaan semula bersifat kegerejaan (berpusat di gereja dan dibentuk oleh selera pemimpin agama) maka timbul usaha melepaskan kebudayaan dari pengaruh gereja. Gagasan sekularisasi/sekularisme mulai bertunas. Kebudayaan menurut paham baru ini harus mendapatkan otonomi di luar agama.

  4. Masyarakat tidak lagi dilihat sebagai susunan berdasarkan norma-norma agama (yang bersifat abadi), tetapi merupakan hasil persetujuan dan keputusan manusia, karenanya bersifat temporal atau sementara.

  5. Dengan cara demikian individu tidak lagi terbelenggu dalam ikatan-ikatan sosial dan struktur kemasrakatan bentukan gereja, sehinga mulai menemukan dirinya sebagai ‘pribadi yang merdeka’.

  6. Maka individu mendapat perhatian lebih banyak dibanding perhatian yang diberikan kepada masyarakat beserta tatanannya yang sudah mapan. Individualisme mulai bertunas.

  7. Pendidikan adalah jalan bagi individu untuk mengembangkan bakat terpendam dalam dirinya sebanyak-banyaknya, sampai taraf setinggi mungkin. Perkembangan bakat ini harus berlangsung secara harmonis, sehingga seorang manusia terdidik mampu mencerminkan keselasaran universum (alam semesta). Di sini lahir cita-cita pendidikan universal yang diharapkan menghasilkan pribadi universal karena kemampuannya yang tinggi di berbagai bidang keilmuan, seni dan falsafah. Contohnya Leonardo da Vinci, Rafaelo Santi (Raphael) dan Michel Angelo Buonarotti. Mereka adalah ilmuwan, filosof dan seniman besar sekaligus.

  8. Kesenian juga dilihat sebagai tempat dan kesempatan di mana seseorang selaku individu mengekpresikan diri sebebas-bebasnya tanpa halangan dari pihak mana pun di luar dirinya.

  9. Humanitas atau saling penghargaan antara sesama manusia mulai dibina walaupun terbatas di kalangan pendidik, yaitu di kalangan aristokrasi yang baru muncul terdiri dari orang-orang berpendidikan.

  10. Dalam pendidikan, sarana pendidikan yang utama ialah kebudayaan Yunani Kuna dan Romawi. Dari kebudayaan Yunani diambil cita-cita tentang kebenaran, kebaikan dan keindahan yang kemudian menjelma menjadi ilmu pengetahuan (science), moral dan seni. Dari kebudayaan Romawi diambil cita-cita tentang kesadaran bernegara, kebajikan seorang warga negara dan perlunya hukum.


(lahirlah Law of Rome, undang-undang Romawi, sebagai kanon komprehensif terakhir dalam sejarah peradaban manusia. Kanon-kanon sebelumnya ialah “Law of Hamurabi” (Babylon, abad ke-10 SM); “Law of Moses” (Talmud, yang intinya ialah ‘Ten Commandement’ atau sepuluh printah Tuhan, abad ke-8 SM); “Law of Manu” (disusun berdasarkan Veda, kitab suci agama Hindu, abad ke-5 M di India); “Law of Confusius” (Undang-undang Kong Hu Cu, di Cina abad ke-4 SM) dan “Law of Islam” (abad ke-6 – 7 M di Arab, setelah datanya agama Islam. Orang Barat menyebutnya “Law of Mohammaed”).

  1. Dengan munculnya reformasi dalam tubuh Gereja Kathlolik di Eropa pada abad ke-16 M, cita-cita Humanisme Renaissance terhenti sementara. Sebab-sebabnya ialah:Kaum humanis awal beranggapan bahwa manusia sebagai individu pada dasarnya penuh dengan bakat terpendam, baik secara kdratu dan karenanya harus mendapat kesempatan luas untuk berkembang. Pengasas gerakan Reformasi mengajarkan, dengan bersumber dari kitab Bibel, bahwa padasarnya manusia itu jatuh ke bumi disebabkan terkutuk dan harus memanggul beban dosa asal yang diwarisinya dari nenekmoyangnya Adam dan Hawa. Karena kutukan itulah manusia tidak dapat menyelamatkan diri dengan kekuatannya sendiri seperti diajarkan oleh kaum humanis Renaissance. Yang dapat menyelamatkan manusia dari keadaannya yang terkutuk ialah Iman dan Rahmat Tuhan (Sola fides, Sola gratia).
  2. Akan tetapi metode dan sistem pendidikan humanis yang dibina pada zaman Renaissance dipertahankan dengan penyesuian tertentu. Tujuan pendidikan humanistic yang semuila berupa ‘pengembangan bakat-bakat terpendam manusia ke arah yang baik’ menjadi ‘pengembangan manusia yang cerdas dan saleh”.

  3. Sistem dan mentode pendidikan semacam ini dilanjutkan di kalangan Gereja Katholik seperti Serikat Biarawan Yesuit, kalangan Reformasi Melanchton, Sturm dan lain-lain.


B. Humanisme Aufklaerung (Enlightment, Pencerahan)

Aufklaerung adalah suatu gerakan besar di Eropa pada abad ke-18 M yang memberi kedudukan dan kepercayaan luar biasa kepada akal budi manusia. Gerakan ini tumbuh sejalan dengan penemuan-penemuan besar di bidang ilmu pengetahuan alam di Italia, Jerman, Polandia, dan Inggeris (Galileo, Kepler, Copernicus dan Newton); munculnya falsafah rasionalisme di Perancis dan Belanda, yang menempatkan kedudukan akal sebegitu tingginya dalam mencapai kebenaran (Descartes dan Spinoza); berkembangnya ilmu-ilmu eksakta dan kedudukannya yang tinggi dalam masyarakat terpelajar; disusul dengan berkembangnya paham-paham seperti empirisme di Inggris (Hobbes, Locke), dan mencapai kematangannya di Jerman daam bentuk rasionalisme Kant dan idealisme Hegel yang terkenal dengan teori dialektiknya (thesa x antithesa = sinthesa).

Perjumpaan akal budi dengan pengalaman manusia (empiri) kemudian menghasilkan science yang maju. Menurut pandangan Aufklarung dengan penyebarluasan ilmu pengetahuan maka harkat dan martabat manusia akan semakin meningkat. Bagi mereka science merupakan sumber kebahagiaan pula. Lahirlah apa yang disebut scientisme, paham yang memandang science sebagai segala-sagalanya dalam mencapai kebenaran, kebaikan dan keindahan.

Ciri utama Aufkklarung ialah ‘sekularisasi pemikiran dan sekularisasi cara hidup’. Dari rasionalisme Perancis timbul materalisme (La Mettrie, Helvetius, Holbach). Di Jerman lahir atheisme (Wolf Mendelssohn). Kemudian dari keduanya muncul evolusionisme Darwin. Gabungan theori dialektika Hegel, materialisme La Metrie dan Holbach, atheisme Wolf dan evolusionisme Darwin, ditambah sosialisme yang berkembang di Perancis paa akhir abad ke-16, melahirkan Marxisme (Karl Marx).

Di mana letak perbedaan humanisme Renaissance dan humanisme Aufklarung? Yang menjadi tumpuan perhatian dan titik tolak pandangan Renaissance ialah manusia selaku individu yang harus berkembang menjadi pribadi yang dilengkapi dengan kebajikan-kebajikan, kesempurnaan, kehalusan dan keindahan. Inilah sosok pribadi yang dipandang sebagai manusia ideal dan berbudaya. Humanisme Aufklarung terutama sekali memberi perhatian pada pengertian umum manusia, yaitu berhubungan dengan harkat dan martabatnya, serta hak-hak dan kebebasannya.

Yang menonjol pada humanisme Renaissance ialah semangat ‘negasi’ atau ‘negatif’ (peniadaan atau anti) seperti anti eklesiastik, anti kependetaan (clerical) dan anti teologi, maka semangat Aufklaerung yang menonjol ialah semangat ‘positif’ yang tegas-tegas anthropocentris (dari antropho = manusia, dan centri = pusat). Yaitu menjadikan manusia sebagai pusat perputaran dunia dan perkembangan sejarah). Contoh paling jelas tampak pada pribadi dan pandangan filosof Jerman Imanuel Kant (1724 – 1804 M) yang merumuskan manusia sebagai pusat baik dalam bidang filsafat pengetahuan maupun dalam bidang filsafat etika.

Filsafat Pengetahuan Kant: Ditandai oleh pernyataannya bahwa pengetahuan tentang dunia menjadi mungkin karena adanya upaya akal manusia untuk mengorganisasikan gejala-gejala alam menurut hubungan kausal (sebab akibat), susunan dan kategori-kategori logis. Tanpa kategori logis yang ada bukanlah pengetahuan melainkan chaos.

Kant misalnya menyarankan tiga tahapan dalam membangun ilmu pengetahuan:

  • Tahap transcendental estetik, yaitu keharusan perlunya unsur empiris dalam semua bentuk pengetahuan. Unsur empiris yang dimaksud ialah bukti-bukti dari hasil pengamatan inderawi. Tanpa adanya pembuktian empiris, pengetahuan tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan. Teologi dan ilmu-ilmu agama dengan demikian tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan.

  • Tahapan transcendental analitik, yaitu keharusan perlunya kategori-kategori (penggolongan) akal budi manusia dalam mengorganisasi hasil pengamatan terhadap gejala-gejala alam.

  • Transendental dialektik, yaitu keharusan pengutamaan sifat subyektif dan peranan regulatif (penataan) dari pengetahuan.

Bagi Kant ilmu pengetahuan selalu merupakan ‘pengetahuan manusia’ selaku subyek (das Ding fuer mich) dan bukan pengetahuan berdiri sendiri di luar manusia’. Dalam bidang etika Kant membebaskan etika dari agama dan menjadikan etika sebagai bidang yang mandiri (otonom). Menurutnya: (1) Agama memberikan wahyu, namun tetap harus diberikan kemungkinan bagi orang yang tidak mengenal wahyu untuk dapat mencapai kesempurnaan dalam hidupnya. Kemungkinan tersebut diberikan oleh etika melalui imperatif- imperatifnya : a. Imperative hipotetis – suatu desakan yang tampil sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (“cinta membuat seorang rajin belajar untuk mencapai cita-cita sehingga dicintai oleh kekasihnya’); (b) Imperative kategoris – imperatif menjadi norma tersendiri; (2) Tindakan etis merupakan perbuatan yang bisa dijadikan universal atau berlaku bagi semua orang; 3) Kemampuan-kemampuan yang dijelaskan oleh Kant itu merupakan kemampuan universal semua manusia.Sebagai dampak dari ide-ide humanisme Renaissance dan Aufklaerung ini lahirlah dokumen-dokumen kemanusiaan yang penting dan berpengaruh dalam sejarah seperti:


  1. The Glorious Revolution/The Bill of Rights

Pembatasan kekuasaan mutlak raja di Inggris. RajaWilliam III menerima The Bill of Right yang इसिन्य ialah hak-hak parlemen terhadap monarki. सेजक terbentuklah lembaga perwakilan rakyat yang membatasi dan mengkontrol kekuasaan raja.

  1. The Declaration of Independence di Amerika.Tuntutan kebebasan sosial politik dari masyarakat negara jajahan untuk memperoleh kemerdekaan.Gagasan ini mempengaruhi kemerdekaan negara-negara Amerika Latin dari penjajahan Spanyol danPortugis. Ini tidak sukar dicapai karena pencetusnyaadalah keturunan Spanyol (Argentina, Chili, Peru, Venezuela, Bolivia, Columbia dll ) dan Portugis (Brazilia), seperti juga pejuang kemerdekaan Amerika kebanyakan keturunan Inggris, Irlandia, Scotlandia, dan bangsa-bangsa Eropa lain.

  1. Semboyan “Liberte, egalite, fraternite” (Revolusi Perancis). Revolusi Perancis diilhami oleh The Declaration od Independence. Ide pokok yang hendak diwujudkan ialah ‘kedaulatan rakyat’ (the sovereignity of the people). Ini timbul akibat penindasan dan perlakuan sewenang-wenang raja terhadap rakyat. Akibatnya monarki dihapus dan negara Perancis menjadi republik, artinya negara yang diperintah publik/rakyat melalui perwakilan dalam parlemen.Sayang setelah Revolusi Perancis, yang muncul di pentas kekuasaan ialah Napoleon yang gemar berperang dan menaklukkan negara-negara tetangganya, termasuk Mesir di Afrika.Pada saat yang sama penjajahan bangsa Eropa atas Negeri-negeri Asia mulai mencapai puncaknya. Penjajahan ini bukan untuk menyebarkan paham humanisme dan demokrasi, melainkan untuk menjayakan kapitalisme dan imperialisme.

C. Humanisme Kaum Pesimis

Abad ke-18 adalah abad optimisme, karena dengan akal budinya manusia dapat menemukan berbagai bentuk ilmu pengetahuan yang dapat memajukan hidupnya. Tetapi menjelang pergantian abad, tepatnya pada permulaan abad ke-19, datanglah topan pesimisme melanda seluruh benua Eropa. Sejak meletusnya Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, Eropa mulai mengalami kegoncangan. Napoleon yang berkuasa di Perancis gila peperangan. Negeri-negeri Eropa menjadi sasaran penyerbuan tentaranya: Belanda, Jerman, Austria, Polandia, Rusia, Italia dan lain-lain diduduki, sehingga luluh lantaklah negeri-negeri ini disebabkan keganasan tentaranya. Napoleon juga mengancam Inggris, negara paling kuat di Eropa ketika itu. Dia menyeberang ke Afrika dengan menaklukkan Mesir. Ketika itu pula negeri-negeri di Asia telah jatuh ke tangan kolonial Eropa. India mulai dijarah dan diduduki Inggris, Filipina direbut Spanyol, Indonesia diduduki Belanda, Malaysia mulai diduduki Inggeris dan Indocina (Vietnam, Laos dan Kamboja) mulai dirambah oleh Perancis. Karena pada tahun 1816 Belanda ditaklukkan Perancis, maka serta merta untuk sementara Indonesia harus tunduk pula pada kemauan Perancis.

Keadaan di Eropa reda pada tahun 1816 setelah pasukan Napoleon dikalahkan oleh Inggris di Waterlo. Peristiwa-peristiwa ini – sejak munculnya Revolusi Perancis dan Perang Napoleon – ditanggapi oleh kaum cerdik cendikia dengan pesimisme. Kepercayaan pada manusia menjadi hancur, seperti diekpresikan oleh penyair-penyair Eropa ternama. Misalnya oleh Heinrich Heine di Jerman, Leopardi di Italia, Pushkin di Rusia, dan lain-lain.

Tokoh yang paling depan dalam menyuarakan pesimisme ialah Schoupenahuer, seorang filosof Jerman yang hidup pada pertengahan abad ke-19. Ia berpendapat bahwa manusia dikuasai bukan oleh akal budi tetapi oleh kehendak buta. Ingatan adalah hamba kehendak. Dunia di mana kita hidup adalah wujud dari kekuatan irasional yang disebut kehendak. Mengerti artinya ‘mau mengerti’. Bujukan (persuasi) adalah cara untuk memenuhi interes pribadi.

Muridnya Nietzsche (meninggal 1900 M) mengatakan bahwa gambaran manusia yang dibina pada zaman Aufklaerung tidak mencukupi lagi. Untuk menjadi manusia, manusia harus menjadi lebih dari manusia. Dia harus menjadi uebermensch atau Manusia Unggul, kuat dan perkasa menahan derita. Menjadi Tuhan itu sendiri dengan segala kebebasannya.

Ide-ide ini dilanjutkan oleh kaum eksistensialis yang mendewa-dewakan kebebasan. Manusia dipandang sebagai unikum (makhluq serba unik) yang memiliki pengalaman-pengalaman unik. Ia selalu dalam proses menjadi sesuatu yang tidak bisa ditetapkan oleh ilmu pengetahuan, falsafah dan agama.

Inilah latar belakang ide-ide yang mempengaruhi pemikiran cerdik cendikia Indonesia didikan Belanda pada tahun 1920-1930an yang mempengaruhi munculnya gagasan “Kemanusiaan” dalam Pancasila, atau lengkapnya “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Humanisme di Cina/Tiongkok

Dalam mengusulkan dasar-dasar kenegaraan RI atau Pancasila, Bung Karno dipengaruhi juga oleh landasan ideologis negara Tiongkok, yaitu San Min Chu I, yang diasaskan oleh Sun Yat Sen (1911) Trisila negara Tiongkok ini berarti Tiga Asas Kerakyatan: (1) Nasionalisme, yaitu kemerdekaan penuh negara Tiongkok dari penjajahan bangsa asing dan sebagai negara berdaulat Tiongkok berdiri setara dan sejajar dengan negara-negara lain di dunia; (2) Demokrasi, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat sendiri melalui perwakilan dalam parlemen; (3) Kesejahteraan Rakyat. Ketiga prinsip ini dikembangkan berdasarkan etika dan ethos Konfusianisme yang telah wujud di Tiongkok lebih 2000 tahun sebelumnya, dan selama lebih 2000 tahun dijadikan landasan pendidikan di negeri tersebut.

Karena itu ada baiknya kita mengenal gagasan humanisme/kemanusiaan dalam pemikiran di Tiongkok yang bersumber dari ajaran Kon Fu Tze dan membandingkannya dengan humanisme yang berkembang di Eropa dan timbul dalam pemikiran Islam.

Kon Fu Tze lahir pada tahun 551 SM di negeri Lu, provinsi Shantung. Bersama-sama Lao Tze (lahir 604 SM) dia dipandang sebagai pengasas pemikiran falsafah di Cina. Selama lebih dua abad ajarannya terus ditafsir oleh para pengikutnya dengan berbagai cara yang berbeda-beda, misalnya oleh Meng Tze dan Hun Tze pada abad ke-4 SM. Dari penafsirann-penafsiran tersebut lahirlah aliran besar falsafah yang disebut Konfusianisme dan Neo-Konfusianisme (abad ke-7 M). Pertemuan Konfusianisme dengan Buddisme pada abad ke-8 M melahirkan agama Kong Hu Cu. Tetapi tidak semua orang Cina memandang Kong Hu Cu sebagai agama.

Humanisme yang diajarkan Kon Fu Tze berakar dari konsep filsafatnya yang disebut jen. Secara harfiah arti kata ‘jen’ itu bermacam-macam, di antara artinya ialah bajik, berkebajikan, kebajikan yang sempurna, kehidupan moral, karakter moral, perikemanusiaan (the manhood), perasaan kemanusiaan dll. Ketika Kon Fu Tze ditanya apa arti jen, dia menjawab: “Jen ialah mencintai manusia.” Pengikut ajarannya Han Fei Tze (wafat 233 SM) mengembangkan lebih jauh gagasan tersebut. Katanya, “Jen adalah mencintai manusia dengan gembira dan dari lubuk hati yang dalam.” Jen juga dikatakan sebagai penanda yang membedakan manusia dari hewan. Ia adalah kodrat terdalam dan cita-cita tertinggi kemanusiaan, permulaan dan akhir dari pandangan hidup. Manusia yang berperikemanusiaan bebas dari kesedihan dan kecemasan, serta bebas dari kejahatan, yaitu dia yang mampu memilih siapa yang harus dicintai dan dibenci dalam hidupnya.

Semua kebajikan seperti cinta, tolong menolong, kesetiaan, keberanian, kepercayaan, ketulusan dan lain-lain sebagainya merupakan ungkapan dari kemanusiaan. Kemanusiaan tidak dicapai melalui intelek dan emosi, tetapi lahir dan memancur dari dalam diri kita. Semua orang memiliki perasaan tentangnya, tetapi sering lingkungan sosial dan pengalaman hidup yang buruk menghambat perkembangan rasa kemanusiaan dalam diri seseorang. Mereka yang memiliki intuisi (penglihatan batin/hati) yang tajam akan lebih peka rasa kemanusiaannya dibanding orang lain yang mata hatinya kurang terbuka. Orang seperti itu akan dapat memahami kemanusiaan/jen dengan baik dan dapat mencapainya lebih tinggi dari orang lain. Pencapaian kemanusiaan sangat tergantung pada diri pribadi seseorang dalam mendidik dirinya bersama anggota masyarakat lainnya.

Meskipun kemanusiaan lahir dari dalam diri peribadi seseorang, tetapi hanya sedikit orang yang mencapainya dengan baik. Jen dicapai apabila seseorang melalui serangkaian proses individuasi yang benar. Inilah fokus utama etika Konfusianisme yang bertujuan membentuk manusia menjadi manusia yang sebenarnya. Tujuan tersebut bisa dicapai melalui proses yang kompleks dan melalui pula usaha yang terus-menerus dengan pendekataan yang kaafaha atau holistic (menyeluruh). Menjadi manusia, kata Kon Fut Tze sebanarnya adalah “belajar untuk kepentingan diri” sendiri.

Tampaknya ini begitu individualistik. Namun jika dipahami sungguh-sungguh tidak demikian halnya. “Diri” yang dimaksud Kon Fu Tze bukanlah diri atomistik atau diri yang terpisah satu dengan lain seperti atom, seperti dipahami di Barat. Diri merupakan hasil bentukan dari hubungan seseorang dengan sesamanya di luar dirinya. Setiap hubungan yang terjalin itu merupakan bagian dari proses pengembangan dan pembentukan diri. Diri adalah hasil bentukan dari hubungan-hubungan sosial dan kemanusiaan, yang selalu terbuka dan senantiasa berdialog dengan manusia lain secara berkelanjutan.

Agar bermakna pengembangan diri perlu melibatkan pengalaman dan renungan/pemikiran terhadap banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Lima bidang pengalaman dan kegiatan sangat penting bagi proses pembentukan dan pengembangan diri.

Pertama, ialah puisi atau seni. Dalam Sih Ching (Kitab Puisi) puisi diartikan secara luas menjadi ekspresi seni secara umum. Seni merupakan ekspresi jiwa manusia dalam wujud ‘estetika’ (ungkapan keindahan) sebagai hasil hubungan manusia dengan alam, realitas kehidupan dan kebudayaan. Kemampuan merspons dunia dalam bentuk puitis/estetis sangat penting bagi pengembangan diri. Seni melatih manusia mengembangkan imaginasi, perasaan, perenungan, fantasi dan sensibilitas terhadap keindahan. Semua itu sangat penting dalam membentuk suasana kejiwaan dan pemikiran.

Kedua, ritual atau upacara. Yang dimaksud ritual di sini ialah aspek latihan ritualisasi jasmani dan kedisiplinan dalam kehidupan sosial. Dalam ritual diri dilatih bagaimana melakukan sesuatu tindakan yang baik bersama orang lain. Menyapu, makan, bekerja bakti, duduk di tempat tertentu dan umum, berkomunikasi, hadir dalam pesta dan mengikuti upacara keagamaan/kenegaraan, merupakan sebentuk tindakan ritual yang penting bagi pembentukan diri.

Ketiga, mempelajari Sejarah. Sejarah adalah himpunan ingatan bersama yang berkaitan dengan asal-usul kita sebaai manusia. Mempelajari sejarah berarti mengetahui dan peduli terhadap norma-norma dan ide-ide penting yang dijadikan pegangan hidup manusia di masa lalu di mana kita sekarang menjadi bagiannya. Orang Islam perlu tahu sejarah Islam, orang Hindu perlu tahu sejarah Hindu dan kebudayaannya, khususnya bagaimana berkembang di tanah airnya tempat sekarang ia hidup dan merupakan bagian dari keseluruhan umat Islam atau Hindu dalam sejarah bangsa Indonesia. Sejarah juga memberikan banyak pelajaran tentang kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh generasi terdahulu di mana kita sekarang ini menerima akibatnya dan berupaya mencari pemecahan untuk keluar dari akibat-akibat buruk yang ditimbulkannya.

Keempat, berperan serta secara aktif dalam kehidupan sosial, seperti berorganisasi dls. Karena itu politik menjadi tidak bisa dihindari, dikehendaki atau tidak dikehendaki. Manusia adalah mahluq politik (zoon politicon) yang mesti berperan serta secara bertanggungjawab dalam kehidupan bermasyarakat. Di sini kata-kata politik tidak hanya berhubungan dengan politik praktis.

Kelima, manusia tentu tidak bisa melepaskan diri dari alam dan dunia tempatnya hidup. Karena itu pandangan yang positif terhadap alam menjadi penting bagi pembentukan diri. Ajaran ini dapat dijumpai dalam I Ching (Kitab Perubahan).

Pemikiran Kon Fu Tze tentang humanisme dibicarakan lebih lanjut dalam konsep yang popular dalam sejarah pemikiran bangsa Cina, yaitu Chung Yung (Jalan Tengah, the Golden Mean, central harmony). Konsep ini berkembang mengikuti arah pemikiran Kon Fu Tze yang mempunyai perhatian besar terhadap persoalan-persoalan praktis dari kehidupan manusia/masyarakat.

Walaupun arti umum jen ialah kemanusiaan, dalam kitabnya Lun Yu (Analects) Kon Fu Tze memberi arti filosofis terhadap istilah jen sebagai “kemampuan mengendalikan diri dan upaya kembali ke asas kehidupan yang kodrati (li)”. Ia juga mencakup pengertian tentang upaya manusia merealisasikan dirinya dan berperan aktif menciptakan tatanan sosial yang tertib.

Di antara cakupan arti jen ialah “Sikap hormat terhadap kehidupan pribadi, kesungguhan menangani persoalan dan setia menjalankan tugas serta kewajiban berhubungan dengan kehidupan sosial”. Menurut Kon Fu Tze, “Orang yang melaksanakan jen bertujuan membangun sifat dan wataknya sendiri, dan juga berusaha membantu orang lain membangun watak dan kepribadian sendiri. Berkeinginan dirinya berhasil, berarti berkeinginan pula menolong orang lain berhasil. Orang yang melaksanakan jen melaksanakan pula kemanusiaan, dan mencintai semua orang sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” Individualisme dan altruisme (mementingkan diri dan sekaligus orang lain) menyatu dalam dirinya.

Jen sebagai konsep humanisme dikaitkan dengan konsep lain seperti Li (asas, prinsip kehidupan, menyesuaikan diri dengan kodrat manusia) dan ch`i (kekuatan material atau energi) dan pelaksanaanya dikaitkan dengan bidang kehidupan praktis secara luas seperti seni pemerintahan, kedokteran, seni musik dan puisi. Kadang-kadang ‘jen’ diartikan sebagai kebaikan. Orang yang berkeinginan menjadi baik misalnya disebut neng jen. Kebaikan seseorang bukan hanya tampak dalam kata—kata, tetapi juga dalam perbuatan dan akibat dari perbuatannya tersebut. “Kudengar kata-kata seseorang, dan kuperhatikan perbuatannya pula” kata Kon Fu Tze.

Penerus ajaran Kon Fut Tze ialah Tzu Ssu (Cucu Kon Fu Tze, 292-431 SM), Meng Tze (372-289 SM) dan Hun Tze (360-270 SM). Tzu Sze mengatakan bahwa Chung Yung merupakan jalan langit dan menghubungkannya dengan ketulusan. Berpikir bagaimana menjadi tulus adalah jalan manusia yang selaras dengan jalan langit (Tao). Ketulusan adalah tanda kecerdasan seseorang dalam menanggapi kehidupan dan menyempurnakan keberadaan seseorang sebagai manusia. Ciri ketulusan ialah menonjol tanpa pamer diri, menghasilkan perubahan tanpa bergerak melampaui batas dan mencapai tujuan tanpa bertindak terlalu aktif. Hanya orang yang tulus dan ikhlas dapat mengembangkan kodrat dirinya secara penuh.

Meng Tze mempunyai pemikiran lebih mendalam. Dia mengatakan, “Kita berbuat baik, bukan hanya disebabkan ingin berbuat baik, tetapi patut berbuat baik. Alasan utamanya ialah karena kodrat manusia itu memang baik, seperti air yang kodratnya mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah.” Jika manusia berbuat jahat, itu bukan disebabkan karena pembawaannya salah. Melainkan disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Setiap orang mempunyai perasaan-perasaan bawaan utama seperti: (1) Rasa malu; (2) Rasa hormat; (3) Rasa bersalah; (4) Kasih sayang. Tetapi semua itu bisa terpendam dan hilang apabila tidak dilatih untuk dikembangkan dalam pendidikan di keluarga, lingkungan dan sekolah. Jika keempatnya dikembangkan sejak awal, maka seseorang akan menjadi arif.

Kesadaran moral adalah sarana mencapai Chung Yung. Kesadaran moral berakar dalam hati semua orang, seperti dibuktikan dalam kenyataan bahwa seorang anak tahu betul bagaimana mencintai orang tuanya dan sesama manusia. Bila seorang anak melihat anak sebayanya hampir jatuh ke dalam sumur, sekonyong-konyong akan tumbuh rasa kasih sayang dan keinginannya untuk menolong. Perasaan semacam ini dimiliki setiap orang tanpa pertimbangan-pertimbangan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hai sobat blogger, aku akan membalas komentar sobat.

Movie & TV Show Preview Widget

Book Author : Dostoyevsky