16 September 2007

ILMU USHUL FIQH, Sunni

:: Ushul Fiqh


Mahkum Fihi

Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya

Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat:

  1. Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena mustahil suatu perintah disangkutkan dengan yang mustahil, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan. Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu belum ada dan mungkin akan terwujud.

  2. Dapat diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa sanggup dilakukan oleh orang yang menerima khithab itu.

  3. Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang diberi tugas, baik secara pribadi maupun bersama orang lain dengan jelas.

  4. Mungkin dapat diketahui oleh orang yang diberi tugas bahwa pekerjaan itu perintah Allah, sehingga ia mengerjakannya mengikuti sebagaimana diperintahkan. Yang dimaksud dengan yang diketahui di sini ialah ada kemungkinan untuk dapat diketahui dengan jalan memperhatikan dalil-dalil dan menggunakan nadzar.

  5. Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadat masuk golongan ini, kecuali dua perkara, yaitu:

    1. Nadzar yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak mungkin dikerjakan dengan qasad taat, karena tidak diketahui wajibnya sebelum dikerjakan.

    2. Pokok bagi iradat taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas terhadap iradat mendapat pahala, karena kalau memang dikehendaki niscaya terlaksana juga iradat itu.

Disamping syarat-syarat yang penting sebagaimana tersebut di atas, bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut:

  1. Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau mustahil dilaksanakan itu adakalanya suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan, yakni yang dzatnya daripada pekerjaan itu tidak ada, dan mustahil menurut adat, yaitu perbuatan-perbuatan itu sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup melaksanakannya.

  2. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.

  3. Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk di bawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada dua macam:

    1. Yang kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan.

    2. Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya terasa lebih berat daripada yang biasa. Secara akal, tidak diragukan lagi tentang kebolehan taklif dengan bahagian pertama, karena mungkin terjadi sebagaimana tidak dapat dibantah lagi bahwa bukanlah syara' bermaksud memberatkan mukallaf itu dengan beban yang sangat menyukarkan. Dalam kenyataan tidak terjadi taklif yang demikian itu. Membebankan para mukallaf dengan beban bagian yang kedua, itulah yang terjadi.

  4. Pekerjaan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa. Pekerjaan-pekerjaan yang demikian ada kalanya hasil dari sebab dan ikhtiar mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki dan adakalanya juga bukan karena kehendak mukallaf dan ikhtiarnya. Nabi menyuruh orang yang bernadzar puasa dengan berdiri di bawah terik matahari agar menyempurnakan puasanya dan mencegah berdiri di bawah terik matahari.

Macam-macam perbuatan yang digantungkan hukum kepadanya ada beberapa macam, yaitu:

  1. Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang hak Allah semata-mata.
    Yaitu segala sesuatu yang mendatangkan manfaat umum, oleh karenanya tidak hanya kepada seseorang tertentu saja. Dikatakan pekerjaan-pekerjaan itu hak Allah karena mengingat kepentingannya yang besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada pekerjaan-pekarjaan itu.
    Hal itu terbagi kepada beberapa bagian:

    1. Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang ibadat semata-mata, seperti iman, shalat, shaum, haji, umrah dan jihad.

    2. Pekerjaan ibadat yang di dalamnya terasa adanya beban yakni diwajibkannya lantaran orang lain, seperti nafkah.

    3. Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan lantaran orang lain tetapi mengandung pengertian ibadat, seperti membayar 1/10 (sepersepuluh) dari hasil tanah 'usyur.

    4. Pekerjaan-pekerjaan yang diberatkan karena orang lain dan mengandung paksaan, seperti membayar upeti tanah. Lantaran membayar upeti terpaksalah kita mengerjakan tanah itu.

    5. Pekerjaan-pekerjaan yang tidak tersangkut dengan tanggungan seseorang, seperti 1/5 (seperlima) dari harta rampasan barang logam dan barang-barang galian yang didapati dari simpanan orang dahulu. Seperlima itu diambil dari harta yang didapati dan diberikan kepada mereka yang telah ditetapkan Allah, sebagai penyampaian hak Allah, bukan sebagai ibadat kita.

    6. Pekerjaan-pekerjaan yang semata-mata paksaan, seperti hukuman siksa, zina, mencuri, meminum minuman yang memabukkan.

    7. Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang setengah paksaan, seperti mengharamkan pembunuh menerima pusaka dari orang yang dibunuh.

    8. Pekerjaan-pekerjaan yang mengandung ibadah dan paksaan, seperti kaffarah, dikatakan ibadah, karena yang dijadikan kaffarah itu ibadah, umpamanya puasa, memerdekakan budak dan disyaratkan niat. Dipandang paksaan adalah karena kaffarah itu lantaran berbuat kesalahan.

  2. Pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata.
    Pekerjaan-pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata seperti membayar harga barang yang kita rusakkan, merniliki barang yang kita beli dan sebagainya.

  3. Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak Allah lebih kuat.
    Bagian ini diumpamakan hukum menukas zina. Apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu mendatangkan kebaikan kepada masyarakat, nyatalah bahwa ia adalah hak Allah dan apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu dilakukan untuk menolak keaiban dari orang yang ditukas nyatalah bahwa ia itu hak hamba. Lantaran hak Allah di sini lebih keras, tidak boleh yang ditukas itu menggugurkan hukum itu dari orang yang menukas, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang ditukas.

  4. Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak hamba lebih kuat.
    Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena dalam hal ini hak hamba lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan boleh mengambil diat saja atau memaafkan saja.



Al-Kitab


Bukti bahwa al-Qur'an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena al-Qur'an itu datang dari Allah, dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kesahannya dan kebenarannya.


Kata al-Kitab menurut bahasa adalah tulisan, sesuatu yang tertulis tetapi sudah menjadi umum di dalam ajaran Islam untuk nama al-Qur'an, yaitu Kalam Allah SWT yang diturunkan dengan perantara malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata berbahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rasulullah SAW dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibaca. la ditadwinkan diantara dua lembar mushaf, mulai dengan aI-Fatihah dan ditutup dengan an-Nas, dan telah sampai kepada kita dengan mutawatir, dianggap beribadah apabila membacanya. Ada pula yang mendefinisikan al-Qur'an dengan: Lafadh bahasa Arab yang diturunkan untuk direnungi, diingat dan mutawatir. Al-Qur'an tidak mengalami pergantian atau perubahan apapun. Baik isi, lafadh maupun susunan serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Hal ini dijamin oleh Allah SWT dengan firman-Nya:


Artinya:


"Sesungguhnya Kami telah menurunkan adz-Dzikr (al-Qur'an), dan sesungguhnya Kami sielalu menjaganya." (al-Hijr: 9)


Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab


Ayat-ayat al-Qur'an berikut ini menjelaskan ke-bahasa Arabannya ketika turun kepada Nabi Muhammad SAW.


Artinya:


".... dan al-Qur'an ini berbahasa Arab yang nyata." (an-Nahl: 103)


Artinya:


"Al-Qur'an itu turun dibawa oleh Ruhul Amin ke dalam hatimu agar kamu termasuk orang yang memberi peringatan. la turun dengan bahasa Arab yang jelas." (Asy-Syu'arâ: 193-195)


Artinya:


"Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur'an dalam bahasa Arab, mudah-mudahan engkau mengerti." (Yusuf: 2)


Artinya: "Demikianlah Kami turunkan al-Qur'an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan berulangkali di dalamnya sebagian dari ancaman, mudah-mudahan mereka bertaqwa dan mudah-mudahan al-Qur'an itu menimbulkan pengajaran bagi mereka." (Thâhâ: 113)


Artinya: "Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yaitu bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui." (Fushshilat: 4)


Artinya:


"Dan demikianlah Kami wahyukan al-Qur'an dalam bahasa Arab." (asy-Syûra: 7)


Artinya:


"Sesungguhnya Kami jadikan al-Qur'an itu berbahasa Arab supaya kamu memahaminya." (az-Zukhruf: 3)


Artinya:


"Dan ini adalah Kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang dzalim dan sebagai khabar gembira bagi orang-orang yang berbuat baik." (al-Ahqâf: 12)


Artinya:


"(lalah) al-Qur'an dalam bahasa Arab yang tldak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa." (az-Zumar: 28)


Tentang ke-bahasa Arab-an al-Qur'an ini, Imam asy-Syafi'i mengemukakan di dalam ar-Risalahnya sebagai berikut: "Yang wajib atas orang-orang yang pandai ialah hendaknya mereka itu tidaklah berpendapat (mengatakan sesuatu) kecuali karena mereka telah mengetahui. Dan memang ada pula orang yang berkata di dalam masalah ilmu yang sekiranya mereka mau menahan diri tidak mengatakannya akan lebih baik baginya dan lebih selamat. Insya Allah."


Diantara mereka ada yang berpendapat: "(Sesungguhnya di dalam al-Qur'an itu ada yang Arab dan ada yang 'ajam (asing)."


Padahal al-Qur'an itu menunjukkan sesungguhnya di dalam al-Qur'an itu sendiri tidak ada sesuatupun kecuali mesti berbahasa Arab.


Dan orang yang berpendapat seperti ini seperti mendapatkan seseorang yang menerima pendapatnya itu daripadanya, karena taqlid kepadanya, dan meninggalkan bagi masalah itu dari hujjahnya, dan masalah yang lain dari orang yang menentangnya.


Dan karena taqlid, menjadi lengahlah orang di kalangan mereka, dan semoga Allah mengampuni kita dan mereka.


Dan barangkali saja orang yang berpendapat "di dalam al-Qur'an sesungguhnya terdapat yang bukan berbahasa Arab, dan hal itu diterima daripadanya," adalah karena berpendapat di dalam sebagian al-Qur'an itu terdapat sesuatu yang khusus, yang sebagian dari padanya tidak diketahui oleh sebagian bangsa Arab.


Padahal bahasa Arab itu lebih luas, lafadhnya paling banyak, dan kami tidak mengetahui ada orang yang dapat menguasai seluruhnya itu kecuali Nabi, akan tetapi tidak satupun kalimat padanya yang berada pada orang-orang umumnya, sehingga di situ lalu tidak terdapat orang yang dapat memahaminya."


Di halaman lain asy-Safi'i mengemukakan:


"Dan termasuk keseluruhan ilmu dengan Kitabullah itu ialah mengetahui bahwa semua yang di dalam Kitabullah itu sesungguhnya diturunkan dalam bahasa Arab."


Beliaupun mengemukakan dalil Al Qur'an sebagai berikut :


Artinya:


"Dan sekirannya Kami jadikan al-Qur'an itu bacaan dalam bahasa 'ajam, pastilah mereka akan berkata: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya, apakah 'ajam atau Arab?" Katakanlah: al-Qur'an itu untuk orang-orang yang beriman merupakan petunjuk dan penyembuh. Dan orang-orang yang tidak beriman di dalam telinga mereka ada sumbatan, dan al-Qur'an itu bagi mereka merupakan kegelapan. Mereka itu dipanggil dari tempat yang jauh." (Fushshilat: 44)


Karena al-Qur'an itu berbahasa Arab, berarti kebahasa Araban al-Qur'an itu merupakan bagian dari al-Qur'an itu. Karena itu terjemahannya bukanlah al-Qur'an. Apabila kita shalat membaca terjemahan al-Qur'an tidaklah sah shalat kita, sebab yang diperintahkan ialah membaca al-Qur'an, bukan terjemahannya. Imam Abu Hanafiyah membolehkan shalat membaca terjemahan al-Qur'an di dalam bahasa Parsi. Tetapi katanya beliau surut dari pendapatnya itu.


Sebagaimana telah dikemukakan di depan, al-Qur'an itu sarnpai kepada kita dengan jalan mutawatir. Karena itu tidak termasuk mutawatir ialah bacaan syadz (yang tidak bisa dikenal) dan yang tidak disepakati para qurra', dan karena itu tidak dinamakan al-Qur'an serta tidak sah bershalat membaca bacaan syadz itu. Adapun bacaan yang disepakati ialah bacaan imam yang tujuh: Ibnu Katsir (Makkah, wafat 120 H), Nafi' (Madinah, wafat 169 H), Ibnu 'Amir (Syam, wafat 118 H), Abu 'Amr Ibnu -'Ala' (Basrah, wafat 157 H), 'Asim (Kufah, wafat 127 H), Hamzah (Kufah, wafat 156 H), al-Kisai (Kufah, wafat 189 H). Ada tiga bahasa lainnya yang oleh para qurra' belum disepakati, yaitu: Abu Ja'far (Madinah, wafat 128 H), Ya'qub (Basrah, wafat 205 H) dan Khalaf (Kufah, wafat 129 H). Selain itu mereka sudah disepakati akan kesyadzannya.


Apakah bacaan syadz itu boleh digunakan sebagai istinbath hukum? Dalam hal ini terdapat perselisihan.


Al-Ghazali berpendapat bacaan syadz tidak boleh menjadi hujjah, sebab bacaan tersebut tidak termasuk al-Qur'an. Seperti misalnya bacaan Ibnu Mas'ud tentang tebusan orang bersumpah:


Artinya:


"Siapa yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa tiga hari berturut-turut."


Ayat ini terdapat di dalam Surat aI-Mâidah ayat 89. Dan yang mutawatir sebagai berikut:


Artinya: "Siapa yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa tiga hari."


Tanpa ada kata-kata mutata-bi'at yang artinya berturut-turut. Dan karena itu tidak wajib berpuasa tiga hari berturut-turut. Jadi menurut ayat tersebut mereka yang melanggar sumpah, supaya menebus sumpahnya dengan memberi makan kepada sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa kita makan, atau memberi pakaian kepada mereka, atau membebaskan seorang budak. Kalau tidak sanggup atau tidak mendapatkan untuk melakukan demikian, hendaklah ia berpuasa tiga hari.


Tetapi Imam Abu Hanafiyah berpendapat bacaan syadz itu menjadi hujjah, karena itu berpuasa di sini harus tiga hari berturut- turut.


Imam Ghazali berpendapat, yang dapat menjadi hujjah itu ialah apabila sesuatu itu tidak diragukan lagi memang dari Nabi Muhammad SAW, tetapi apabila hal itu merupakan keragu-raguan apakah itu memang datang dari Nabi Muhammad apa bukan, yang seperti ini tidak dapat menjadi hujjah.


Al-Qur'an turun kepada Nabi Muhammad SAW sebagai wahyu, di dalam bahasa Arab, dan kalimatnyapun dari Allah SWT. Membaca inilah yang dimaksud membacanya itu beribadat. Hal ini berbeda dengan hadits. Sebab hadits itu merupakan wahyu dari Allah SWT tetapi lafadh dan kalimatnya dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Demikian pula hadits qudsi, yaitu wahyu dari Allah yang biasanya dimulai oleh Nabi Muhammad dengan: Allah berkata dan kemudian isinya diterangkan sebagai kata-kata Allah SWT. Tentu saja apabila memenuhi perintah-perintah yang terkandung di dalamnya itulah juga beribadat. Yang dimaksud membaca di sini, ya sekedar membaca itu saja sudah mendapatkan pahala, sudah dianggap beribadat. Membaca lambat atau cepat, lancar atau tidak lancar, faham maknanya ataupun tidak.


1. Kehujjahan al-Qur'an


Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan al-Qur'an dengan ucapannya sebagai berikut:


"Bukti bahwa al-Qur'an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena al-Qur'an itu datang dari Allah, dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kesahannya dan kebenarannya. Sedang bukti kalau al-Qur'an itu datang dari Allah SWT, ialah bahwa al-Qur'an itu membuat orang tidak mampu membuat atau mendatangkan seperti al-Qur'an."


Membuat orang tidak mampu (al-I'jâz) itu baru terjadi, demikian Abdul Wahhab Khallaf, apabila tiga hal berikut ini terdapat pada sesuatu. Yaitu adanya tantangan (at-ta-haddy), adanya motivasi dan dorongan kepada penantang untuk melakukan tantangan dan ketiadaan penghalang yang mencegah adanya tantangan.


Nabi Muhammad SAW ketika menyatakan kenabiannya dan orang-orang kafir menentangnya dan juga menentang ajaran Allah SWT (al-Qur'an) beliau berkata: "Apabila engkau sekalian meragukan semua ini, cobalah kamu datangkan atau kamu buat saja satu surat yang sama dengan al-Qur'an."


Ucapan seperti ini bukan berarti gurauan seraya dijawab dengan: Mana ada di dunia ini sesuatu yang sama dengan yang lain. Bukan begitu. Akan tetapi makna yang terpenting pernyataan ini ialah bahwa manusia tidak akan mampu menyusun satu ayat pun sebagaimana ayat al-Qur'an, baik mengenai susunan dan keindahan bahasanya, dan juga maknanya, lebih-Iebih kepastian dan kebenaran akan isinya yang mutlak yang berlaku dan tidak bisa dipungkiri.


Allah sendiri berfirman di dalam al-Qur'an sebagai berikut:


Artinya:


"Dan apabila engkau sekalian di dalam keadaan ragu-ragu terhadap apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, buatlah satu surat yang serupa dengannya, dan datangkanlah saksi-saksimu selain Allah, apabila engkau sekalian memang orang-orang yang benar." (al-Baqarah: 23)


Di dalam surat yang lain Allah juga berfirman:


Artinya:


"Apakah mereka berkata Muhammad itu membuat-buat al-Qur'an? Katakanlah Muhammad; Datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah apabila engkau sekalian memang orang-orang yang benar." (Hud: 13)


artinya: "Katakanlah Muhammad, sekiranya jin dan manusia berkumpul untuk membuat yang serupa menyamai al-Qur'an ini mereka tidak akan dapat melakukannya, sekalipun sebagian mereka membantu kepada sebagiannya." (al-Isrâ': 88)


Juga Allah menegaskan:


artinya:


"Apakah mereka mengatakan Muhammad itu membuat-buatnya. Sebenarnya mereka tidak beriman. Hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang sepadan dengan al-Qur'an itu. Apabila mereka itu orang-orang yang benar." (ath-Thûr: 33-34)


Betapapun mereka, yang menantang al-Qur'an itu tidak dapat memberikan yang serupa dengan al-Qur'an itu, apakah itu dari segi bahasanya, atau isinya dan lebih-lebih ketepatan isinya yang menyangkut baik riwayat orang-orang dahulu, tentang jagad raya dan hukum-hukum yang dikemukakan oleh Allah SWT.


Dan dunia juga membuktikan dikarenakan orang-orang tidak melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagaimana yang tercantum di dalam al-Qur'an, dan mereka berbuat yang seolah-olah menentangnya, maka bencanalah yang terjadi.


2. Segi-segi kemu'jizatan al-Qur'an.


Mengapa mereka lemah? Dan apa segi-segi kemu'jizatannya?


Kemu'jizatan al-Qur'an tidak dari segi lafadhnya saja, tetapi juga makna dan isinya. Dikemukakan misalnya tentang rahasia-rahasia alam, hingga kini belum juga terungkap, atau sebagian saja yang terungkap. Susunan bahasanya yang indah, dan dapat dibaca dalam segala keadaan, hingga kini tidak ada sesuatu yang menyamainya, dan tidak ada pula yang menandinginya. Hal ini dapat dirasakan oleh mereka yang memahami bahasa Arab dengan baik. Demikian kesucian al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan.


Bahkan juga al-Qur'an mengantar orang untuk memikirkan kejadian-kejadian di sekitarnya, agar kita merenungkan sifat keilmiahan dan kegunaan dari benda-benda di sekeliling kita.


Allah berfirman di dalam al-Qur'an sebagai berikut:


Artinya: "Apakah mereka tidak merenungkan al-Qur'an? Sekiranya al-Qur'an itu datang bukan dari Allah, pastilah mereka mendapatkan di dalam al-Qur'an itu pertentangan yang banyak." (an-Nisâ': 82)


Artinya:


"Dan Kami menurunkan besi, padanya terdapat kekuatan yang dahsyat dan kemanfaatan-kemanfaatan yang banyak bagi manusia." (al-Hadîd: 25)


Allah menyebut tentang besi di saat besi belum berkembang kemanfaatan dan kekuatannya sebagai sekarang ini. Allah juga mengatakannya bahwa ilmu pengetahuan manusia mengembangkan besi datang beratus-ratus tahun kemudian sesudah firman Allah tersebut. Ini berbicara secara umum tentang kemampuan manusia dalam ilmu.


Juga Allah berfirman di dalam al-Qur'an:


Artinya:


"Sesungguhnya di dalam ciptaan Allah yang berupa langit dan bumi, perbedaan malam dan siang, merupakan tanda-tanda akan kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal. Yaitu mereka yang selalu ingat kepada Allah ketika sedang berdiri, duduk ataupun dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, kemudian mereka berkata: "Oh Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan segalanya ini sia-sia, Maha suci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka." (Ali Imran: 190-191)


Sejarah membuktikan firman Allah SWT:


Artinya:


"Dan apabila Kami menghendaki menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan penyelewengan di dalam negeri itu, karena itu sudah sepantasnya berlaku ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan mereka itu sehancur-hancurnya," (al-Isrâ': 16)


Bukankah apabila orang-orang sudah suka memenuhi hawa nafsunya, lupa kepada masyarakat sekitarnya, ini akan menjadi bibit-bibit revolusi, yang biasa dikenal dengan revolusi sosial?


Betapa sejarah modern membuktikan pernyataan Allah SWT. Al-Qur'an memberikan juga riwayat bangsa-bangsa yang lalu. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah tahu riwayat-riwayat itu. Allah berfirman:


Artinya: "Itu adalah diantara berita-berita gaib yang Kami mewahyukan kepadamu, engkau sendiri dan kaummu setelah ini tidak mengetahuinya." (Hud: 49)


Di samping itu al-Qur'an juga mengatakan tentang apa yang akan terjadi, dan ternyata benar terjadi, yaitu:


Artinya:


"Alif lam mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan akan menang dalam beberapa tahun lagi" (ar-Rûm: 1-4)


Ayat ini menceriterakan terjadinya perang antara Romawi yang Nasrani dengan Persia yang Majusi. Mula-mula bangsa Romawi kalah, tetapi kemudian menang dan kalahlah bangsa Persia.


Demikian pula di dalam ayat yang lain Allah berfirman:


Artinya:


"...Sesungguhnya engkau akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman..." (al-Fath: 27)


Sebelum terjadinya perdamaian Hudaibiyyah, Nabi Muhammad SAW bermimpi akan memasuki kota Mekkah bersama sahabatnya dalam keadaan sebagian mereka bercukur dan sebagian lagi bergunting. Kata Nabi hal itu kelak akan terjadi. Dan sampailah berita ini di kalangan ummat Islam, orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan setelah perdamaian Hudaibiyyah Nabi dan pengikutnya tidak memasuki Mekkah dan Masjidil Haram, mereka mengolok-olok Nabi dan dikatakan oleh mereka, Nabi Muhammad SAW pembohong. Tetapi bagaimana kenyataannya? Beberapa waktu kemudian, firman Tuhan itu terwujud. Yaitu Nabi dan pengikutnya masuk kota Mekkah dan Masjidil Haram.


al-Qur'an susunan bahasanya fashih, ungkapan bahasanya baligh. Hal ini akan dapat dirasakan bagi mereka yang memahami bahasa Arab dengan baik.


3. Mengetahui sebab-sebab turunnya al-Qur'an.


Sebab-sebab turunnya al-Qur'an, yang biasa disebut dengan Asbabunnuzul, sangatlah penting dipandang dari dua segi:


1. Mengetahui ke-i'jazan al-Qur'an itu pokoknya ialah: mengetahui keadaan yang sesungguhnya ketika ayat itu diturunkan, ditujukan kepada siapa.

2. Tidak mengetahui Asbabunnuzul, dikhawatirkan orang akan terjatuh kepada perselisihan yang tidak ada gunanya dan tidak semestinya.


Suatu ketika Sayyidina Umar RA bertanya kepada Ibnu Abbas, "Hai Ibnu Abbas kenapa ummat ini berbeda-beda pendapat dan berselisih, padahal Nabinya itu satu?"


Ibnu Abbas menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, al-Qur'an diturunkan kepada kita, kitapun membacanya dan kitapun mengetahui apa sebabnya ia turun. Dan sesudah kita ini, akan ada suatu kaum yang membaca al-Qur'an, akan tetapi mereka itu tidak mengetahui sebabnya ia itu diturunkan, menjadikan ia akan mengemukakan pendapat (ar-ra'yu) Apabila mereka masih mengemukakan pendapatnya, terjadilah perselisihan yang akan menimbulkan pertempuran."


Ibnu Wahab meriwayatkan dari Bukhari, ia bertanya kepada Nafi': "Bagaimana pendapat Ibnu Umar tentang orang Haruriyah." Ibnu Umar menjawab: "Mereka itu makhluk yang paling jelek, sebab mereka memperlakukan ayat untuk orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman."


Inilah ar-ra'yu yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dan kita diperingatkan terhadapnya, tidak lain karena ar-ra'yu yang demikian itu muncul dari kebodohan tentang arti yang dibawa oleh al-Qur'an ketika turunnya.


Dan diriwayatkan, pada waktu Marwan mengirim utusan, bertanya kepada Ibnu Abbas: "...Apabila orang yang bergembira karena memperoleh apa yang ia senangi dan dipuji karena meninggalkan suatu pekerjaan itu dipaksa, maka pastilah kita semua akan disiksa."


Ibnu Abbas menjawab: "...Apa maksud kamu sekalian dengan ayat ini?" Soalnya Nabi memanggil orang-orang Yahudi, beliau menanyakan mereka akan sesuatu, akan tetapi mereka menyembunyikannya dari Nabi, dan memberitahukan hal yang lain, mereka menunjukkan kepadanya akan halnya mereka dipuji lantaran yang telah mereka khabarkan kepada Nabi sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi kepada mereka, dan merekapun gembira atas apa yang mereka sembunyikan, kemudian Ibnu Abbas membaca ayat:


Artinya:


"Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan engkau menyembunyikannya" lalu mereka melemparkan janji itu di belakang punggung mereka dan mereka menukarkannya dengan harga yang sedikit. Jangan sekali-kali kamu menyangka orang-orang yang bergembira lantaran apa yang mereka telah lakukan dan mereka suka supaya dipuji-puji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan, jangan kamu mengira mereka akan terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih." (Ali Imran: 187-188)


Nyatalah ayat ini tidak seperti apa yang disangka oleh Marwan. Ketika Qudamah bin Madh'un dituduh minum khamr dizaman Umar, dan Umar mau menjilidnya, Qudamah berkata: "Demi Allah, sekiranya saya memang meminum khamr sebagaimana mereka menuduhnya kepada saya, betapapun engkau tidaklah berhak menjilid saya, sebab Allah telah berfirman:


Artinya:


"Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman, dan mengerjakan amal-amalan yang shaleh, kemudian mereka tetap bertaqwa dan beriman, kemudian mereka tetap bertaqwa juga dan berbuat bauk, dan Allah ltu suka kepada orang-orang yang berbuat baik." (al-Mâidah: 93)


Sedang saya termasuk mereka."


Ternyata penafsiran Qudamah tentang minum yang tidak berdosa itu keliru. Yang dimaksud dalam ayat itu ialah orang yang minum atau makan makanan haram ketika mereka dulu masih kafir.


Hal ini jelas, ketika Umar bertanya kepada Ibnu Abbas: Bagaimana? Dijawab oleh Ibnu Abbas, ayat itu turun sebagai pemaafan kepada orang-orang dahulu, dan menjadi hujjah bagi orang-orang sekarang ketika menghadapi mereka, waktu itupun khamr belum lagi diharamkan kepada mereka, sebab Allah berfirman:


Artinya:


"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, jauhilah oleh kamu sekalian, mudah-mudahan engkau berbahagia." (al-Mâidah: 90)


Kalaulah orang itu, demikian Ibnu Abbas, termasuk orang yang beriman dan beramal shaleh, kemudian bertaqwa dan kemudian berbuat baik, sesungguhnya Allah melarangnya untuk meminum khamr. Umar menjawab: "Engkau benar." Jelaslah dengan tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan menyimpangkan dari maksud yang sebenarnya dari ayat itu. Karena itulah, mengetahui sebab-sebab turunnya ayat ini menyebabkan seseorang akan mengerti dengan baik terhadap al-Qur'an.


Hasan berpendapat bahwa Allah tidak menurunkan ayat kecuali wajiblah bagi seseorang mengetahui di dalam hal apa ia itu diturunkan dan apa maksud Tuhan dengan ayat itu.


Demikian pula wajib diketahui, bagaimana orang atau bangsa Arab ketika ayat itu turun, sebab apabila hal itu tidak diperhatikan juga akan menimbulkan kesamaran di dalam memahami al-Qur'an.


Misalnya saja firman Allah:


Artinya:


"Sempurnakanlah olehmu semua akan haji dan umrah karena Allah." (al-Baqarah: 196)


Di sini yang terdapat adalah perintah menyempurnakan haji. Kenapa? Dulu bangsa Arab memang sudah menjalankan ibadah haji. Sekarang mereka tetap juga diperintahkan melakukan ibadat haji, hanya saja tatacara yang dilakukan pada waktu dulu yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam, misalnya tentang wuquf di Arafah dan lain-Iainnya. Dan perintah inipun berlaku bagi semua umat Islam. Allah pun berfirman tentang wajib haji diayat lain, sebagai berikut:


Artinya:


"....Oh Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami apabila kami lupa atau bersalah..." (al-Baqarah: 286)


Menurut Abu Yusuf, ayat ini berlaku pada masalah kemusyrikan, karena mereka dahulu baru saja dari kekufuran masuk Islam, kemudian mereka itu ingin bertauhid akan tetapi keliru dengan kekufuran, karena itu AIlah mengampuni mereka dari hal tersebut sebagaimana AIlah mengampuni mereka apabila mereka mengucap kufur karena dipaksa. Jadi ayat ini untuk masalah syirik. Tidak berlaku untuk sumpah di dalam cerai, membebaskan budak, jual-beli, sebab pada waktu mereka dahulu tidak ada sumpah dan pembebasan budak itu.


Jelaslah kemu'jizatan al-Qur'an akan dapat diketahui dengan mengetahui suasana dan keadaan ketika ayat al-Qur'an itu diturunkan, dan tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur'an akan menyebabkan keragu-raguan, bahkan yang jelas bisa menjadi samar, atau mungkin keliru sama sekali.


4. Sifat-sifat hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an.


Umumnya hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an itu bersifat garis besarnya saja, tidak sampai kepada perincian yang kecil-kecil. Kebanyakan penjelasan al-Qur'an ada dalam as-Sunnah. Sekalipun demikian, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an cukup lengkap. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT di dalam al-Qur'an:


Artinya:


"Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab." (al-An'am: 38)


al-Qur'an telah sempurna, sebab syari'at juga sudah sempurna, sebagaimana Allah berfirman:


Artinya:


"Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu sekalian akan agamamu, dan Kusempurnakan Pula kepadamu sekalian akan nikmatKu, dan Akupun ridla Islam sebagai agama bagi kamu sekalian." (al-Mâidah: 3)


Memang sudah jelas, hukum-hukum shalat, zakat, haji dan lain-lainnya, namun al-Qur'an tidak menjelaskannya dengan tuntas, yang menjelaskannya adalah as-Sunnah, demikian pula tentang perkawinan, transaksi, qishash dan lain-lainnya.


Sebagaimana kita ketahui, dalil-dalil atau ladasan pokok di dalam Islam adalah al-Qur'an, as-Sunnah, al-Ijma' dan al-Qiyas. Semua itulah yang akan menjelaskan al-Qur'an. Mula-mula as-Sunnah, kemudian al-Ijma' dan kemudian al-Qiyas. Semua ini landasannya juga terdapat di dalam al-Qur'an.


Jadi kesimpulannya, kebanyakan hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an itu kulli (bersifat umum, garis besar, global), tidak membicarakan soal yang kecil-kecil (juz'i).


5. Asas-asas hukum


Asas-asas hukum sebagai yang tercantum di dalam al-Qur'an ialah:


1. Tidak memberatkan.


Hal ini dinyatakan dalam firman Allah:


Artinya:


"Dan tidaklah Allah membuat atasmu dalam agama itu suatu kesukaran." (al-Hajj: 78)


Demikian pula firman Allah yang lain:


Artinya:


"Allah tidak memberatkan seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (al-Baqarah: 286)


Nabipun bersabda:


Artinya:


"Aku diutus membawa agama yang mudah lagi gampang." (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)


Juga dalam riwayat lain:


Artinya:


"Tidaklah Rasulullah disuruh memilih antara dua perkara kecuali beliau mesti memilih yang lebih mudahnya apabila di dalam yang lebih mudah itu tidak dosa." (HR. Bukhari)


Sebagai contoh, shalat yang dilakukan dengan berdiri, dibolehkan dilakukan dengan duduk bagi mereka yang sakit. Dan ketika Ramadlan boleh seseorang tidak berpuasa apabila sakit atau bepergian, asal nanti diganti di waktu lain.


1. Islam tidak memperbanyak beban atau tuntutan.


Artinya segala sesuatu yang ditentukan di dalam al-Qur'an, juga di dalam as-Sunnah semua manusia mampu melakukannya.


1. Ketentuan-ketentuan Islam datang secara berangsur-angsur.


Contohnya, khamr mula-mula dikatakan oleh Allah, orang-orang tidak diperbolehkan shalat apabila dalam keadaan mabuk, kemudian dikatakan di dalam khamr itu ada kemanfaatannya tetapi ada juga kemafsadatannya, akan tetapi kemafsadatannya itulah yang lebih besar. Akhirnya khamr sama sekali diharamkan.


Ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an tidak banyak, kurang lebih 200 ayat saja.


6. Pokok-pokok isi al-Qur' an


1. Masalah tauhid, termasuk di dalamnya segala kepercayaan terhadap yang gaib. Manusia diajak kepada kepercayaan yang benar yaitu mentauhidkan Allah SWT.

2. Ibadat, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan di dalam hati dan jiwa.

3. Janji dan ancaman, yaitu janji dengan balasan yang baik/pahala bagi mereka yang berbuat baik, dan ancaman yaitu siksa bagi mereka yang berbuat kejelekan. Janji akan memperoleh kemulyaan baik di dunia maupun di akhirat dan ancaman akan kesengsaraan baik di dunia maupun di akhirat. Janji dan ancaman di akhirat berupa surga dan neraka.

4. Jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, yang berarti berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridlaan Allah SWT.

5. Riwayat dan ceritera, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik itu sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh maupun nabi-nabi utusan Allah SWT.


7. Macam-macam hukum


Menurut Abdul Wahhab Khallaf, hukum yang dikandung dalam al-Qur'an itu terdiri tiga macam:


1. a. Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan keimanan (kepada Allah, malaikat, para nabi, hari kemudian, dan lain-lainnya).

2. b. Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.

3. c. Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan ucapan, perbuatan, transaksi (aqad) dan pengelolaan harta Inilah yang disebut fiqhulqur'an, dan inilah yang dimaksud dengan Ilmu Ushul Fiqh sampai kepadanya.


Selanjutnya Abdul Wahhab mengemukakan hukum-hukum amaliyah di dalam al-Qur'an terdiri atas dua cabang hukum:


1. Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT.

2. Hukum-hukum mu'amalah, seperti aqad, pembelanjaan, hukuman, jinayat dan lain-lain selain ibadah, yaitu yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, baik perseorangan maupun kelompok. Inilah yang disebut hukum muamalah, yang di dalam hukum modern bercabang-cabang sebagai berikut:

1. Hukum badan pribadi, tentang manusia, sejak adanya dan kemudian ketika berhubungan sebagai suami istri, di dalam al-Qur'an terdapat sekitar 70 ayat (diistilahkan dengan al-ahwalusy syakhabiyyah).

2. Hukum perdata, yaitu hukum muamalah antara perseorangan dengan perseorangan juga perseorangan dengan masyarakat, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan. Ayat-ayat tentang ini sekitar 70 (al-ahkamul madaniyyah).

3. Hukum pidana, sekitar 30 ayat (al-ahkamul Jinayyah).

4. Hukum acara, yaitu yang bersangkut paut dengan pengadilan, kesaksian dan sumpah, sekitar 13 ayat (al-ahkamul murafa'at).

5. Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan dengan hukum dan pokok-pokoknya. Yang dimaksud dengan ini ialah membatasi hubungan antara hakim dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkamud dusturiyyah).

6. Hukum ketatanegaraan, yaitu hubungan antara negara-negara Islam dengan negara bukan Islam, tatacara pergaulan dengan selain muslim di dalam negara Islam. Semuanya baik ketika perang maupun damai. Ayat tentang ini sekitar 25 ayat (al-ahkamud dauliyyah).

7. Hukum tentang ekonomi dan keuangan, hak seorang miskin pada harta orang kaya, sumber air, bank, juga hubungan antara fakir dengan orang-orang kaya, antara negara dengan perorangan. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkamul istishadiyyah wal maliyyah).


8. Dalalah ayat-ayat al-Qur'an yang qath'iy dan dzanni


Nash-nash al-Qur'an itu bila dilihat dari sudut cara datangnya adalah qath'iy, artinya pasti. Al-Qur'an dari Allah SWT, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan oleh beliau disampaikan kepada umatnya tanpa ada perubahan ataupun penggantian.


Ketika turun kepada Rasulullah, oleh beliau disampaikan kepada sahabatnya, lalu dicatat oleh para sahabat, dihafal dan kemudian diamalkan. Abu Bakar dengan perantara Zaid bin Tsabit mentadwinkan al-Qur'an, demikian pula sahabat-sahabat yang lain mencatat. Kemudian dihimpun dan himpunan ini dipelihara oleh Abu Bakar, demikian pula oleh Umar. Semua menurut urutan yang ditentukan oleh Nabi Muhammad SAW. Himpunan ini kemudian oleh Umar ditinggalkan kepada puterinya Hafshah ummil mukminin, isteri Rasulullah. Di masa Utsman, naskah ini diambil oleh beliau, dihimpunnya dengan perantara Zaid bin Tsabit dan dibantu oleh para sahabat Anshar dan Mujahirin, jadilah sebagaimana kita kenal Mushhaf Utsman, yang kemudian beberapa mushhaf itu dikirim oleh Utsman ke beberapa kota umat Islam.


Al-Qur'an ini tetap terpelihara, sebagaiman dijamin oleh Allah SWT:


Artinya:


"Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur'an dan sungguh Kami memeliharanya." (al-Hijr: 9)


Apabila al-Qur'an itu ditinjau dari dalalah atau hukum yang dikandungnya dibagi dua:


a. Nash yang qath'i dalalahnya atas hukumnya


Yaitu nashnya menunjukkan kepada makna yang bisa dipahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan menerima ta'wil, tidak ada pengertian selain daripada apa yang telah dicantumkan.


Misalnya saja firman Allah SWT sebagai berikut:


Artinya:


"Dan bagimu para suami separuh dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak." (an-Nisâ': 12)


Ayat ini sudah qath'i, tidak ada pengertian lain selain daripada yang dikemukakan oleh ayat itu.


Juga misalnya di dalam surat yang lain:


Artinya:


"Deralah tiap lelaki dan perempuan yang berzina itu seratus deraan." (an-Nûr: 2)


Jelas deraan itu seratus kali. Tidak ada pengertian yang lain. Jadi ayat ini qath'i. Demikian pula yang menunjukkan harta pusaka, arti had dalam hukum atau nishab, semuanya sudah dipastikan, sudah dibatasi.


b. Nash yang dzanni dalalahnya


Yaitu yang menunjuk atas yang mungkin dita'wilkan, atau dipalingkan dari makna asalnya, kepada makna yang lain, sepert firman Allah:


Artinya:


"Dan wanita-wanita yang dicerai itu hendaklah menahan dari tiga quru'." (al-Baqarah: 228)


Quru' tersebut di dalam bahasa Arab mempunyai dua arti, yaitu suci dan haid (menstruasi). Karena itu ada kemungkinan, yang dimaksud di sini tiga kali suci, tetapi juga mungkin tiga kali menstruasi. Jadi di sini, berarti dalalahnya tidak pasti atas satu makna dari dua makna yang dimaksud. Karena itu para mujtahidin berselisih pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendirian tiga kali suci, ada pula yang berpendirian tiga kali haid. Demikian Abd. Wahhab Khallaf.



As-Sunnah


Jika sekiranya, as-Sunnah itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.


As-Sunnah, menurut bahasa artinya cara/sistem, baik cara itu Nabi Muhammad SAW, atau juga lawan dari bid'ah.


Ada dasarnya, sebagaimana dinyatakan secara mutlak oleh Rasulullah:


Artinya:


"Hendaklah engkau berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku -menurut riwayat yang lain- yaitu Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku, pegangilah itu dengan taring gigimu teguh-teguh."


Adapun menurut istilah ulama Ushul as-Sunnah itu ialah:


Artinya:


"Apa yang dibekaskan oleh Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan."


Demikian menurut Dr. Muh. Adib Sholeh, atau menurut Syaikh Muhammad al-Khudlari:


Artinya:


"Apa yang datang dinukil dari Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan atau pengakuan."


1. Kehujjahan as-Sunnah.


Berulang-uIang Allah memerintahkan kita di daIam al-Qur'an agar kita taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya. Misalnya saja firman Allah yang berbunyi:


Artinya:


"Katakanlah, taatlah engkau sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya." (Ali Imran: 32)


Artinya:


"Siapa yang taat kepada rasul berarti taat kepada Allah." (an-Nisâ': 80)


Artinya:


"Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu, apabia engkau sekalian berselisih, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya." (an-Nisâ': 59)


Artinya:


"Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki mukmin dan juga tidak pantas bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya memutus sesuatu untuk melakukan suatu pilihan." (al-Ahzab: 36)


Demikian pula di dalam surat yang lain Allah berfirman:


Artinya:


"Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman sampai mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam diri mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kami berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisâ': 65)


Juga Allah berfirman:


Artinya:


"Dan apa yang diberikan rasul kepadamu, terimalah ia, dan apa yang dilarang olehnya atasmu, tinggalkanlah." (al-Hasyr: 7)


Ayat-ayat itu jelas mewajibkan kita taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.


Ijma' para sahabat juga menentukan demikian. Mereka, sesudah Rasulullah wafat, melakukan ketentuan-ketentuan al-Qur'an dan juga ketentuan as-Sunnah. Dan ini nampak jelas dalam tindakan para Khulafaur Rasyidin.


Abu Bakar apabila tidak hafal dan mengetahui dalam sunnah, beliau keluar mencari sahabat-sahabat yang lain menanyakan, apakah mereka mengetahui sunnah Nabi atas masalah yang sedang dihadapi itu? Bila ada, sunnah itulah yang digunakan untuk memutuskan. Demikian pula Umar, Utsman, Ali dan sahabat-sahabat yang lain dan para tabi'in serta tabi'it tabi'in selanjutnya.


Di samping itu di dalam al-Qur'an sendiri kita dapati perintah-perintah, akan tetapi tidak disertakan bagaimana pelaksanaannya, seperti misalnya perintah shalat, puasa dan sebagainya. Dalam hal yang demikian ini tidak lain kita harus melihat kepada as-Sunnah.


Bukankah Allah telah berfirman di dalam al-Qur'an:


Artinya:


"Dan Kami menurunkan kepada kamu adz-dzikr, agar engkau menjelaskan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka." (an-Nahl: 44)


Jika sekiranya, as-Sunnah itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.


Karena itu, as-Sunnah, baik ia menjelaskan al-Qur'an atau berupa penetapan sesuatu hukum, umat Islam wajib mentaatinya.


Apabila kita teliti, as-Sunnah terhadap al-Qur'an, dapat berupa menetapkan dan mengokohkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an, atau berupa penjelasan terhadap al-Qur'an, menafsiri serta memperincinya, atau juga menetapkan sesuatu hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur'an.


Hal ini juga dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i di dalam ar-Risalahnya.


2. Pembagian Sunnah menurut sanad.


Sunnah dilihat dari sudut sanad dibagi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Golongan Hanafi menambahkan satu lagi, yaitu masyhur atau juga dinamakan mustafidl.


Sunnah yang mutawatir ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaannya perawi ini tidak mungkin bersepakat untuk berbuat bohong atau dusta. Hal ini disebabkan jumlah mereka yang banyak, jujur serta berbeda-bedanya keadaan serta lingkungan mereka. Dari kelompok ini, kemudian sampai juga kepada kelompok yang lain, yang sepadan dan setingkat keadaannya dengan kelompok yang terdahulu, dan kemudian sampailah kepada kita. Mereka, kelompok perawi ini diketahui menurut kebiasaannya, tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kedustaan, mereka jujur dan terpercaya.


Sunnah ahad ialah sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau kelompok yang keadaannya tidak sampai pada tingkatan tawatir. Dari seorang perawi ini diriwayatkan oleh seorang perawi yang seperti dia dan sampai kepada kita dengan sanad tingkatan-tingkatannya ahad, bukan merupakan kelompok yang merupakan tingkatannya itu mutawatir. Hadits-hadits yang demikian biasanya disebut juga dengan Khabarul wahid.


Sunnah yang masyhur ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang atau dua orang atau sekelompok sahabat Rasulullah yang tidak sampai pada kelompok tawatir (perawi hadits mutawatir), kemudian kelompok dari kelompok-kelompok tawatir itu meriwayatkan hadits atau sunnah tersebut dari satu orang perawi ini atau beberapa orang perawi. Dan dari kelompok ini diriwayatkan oleh kelompok lain yang sepadan dengannya, sehingga sampai kepada kita dengan sanad yang kelompok pertamanya mendengar dari Rasulullah, atau menyaksikan perbuatannya oleh seorang atau dua orang, akan tetapi mereka ini tidak sampai kepada tingkatan tawatir, dan semua tingkatannya itu adalah kelompok-kelompok tawatir. Termasuk di dalam tingkatan ini ialah sebagian hadits yang diriwayatkan Umar bin Khattab atau Abdullah bin Mas'ud atau Abu Bakar. Kemudian salah seorang dari mereka diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bermufakat untuk melakukan kedustaan. Contohnya:


Artinya:


"Amalan itu lantaran niat atau karena niat.", atau


Artinya: "Islam ditegakkan di atas lima sendi."


Perbedaan antara sunnah yang mutawatirah dan sunnah yang masyhurah ialah yang mutawatir setiap lingkungan mata rantai sanadnya terdiri dari kelompok tawatir, sejak awal menerima dari Rasulullah hingga sampai kepada kita, sedang yang masyhur lingkungan mata rantai sanadnya yang pertama bukanlah sekelompok diantara kelompok-kelompok tawatir, bahkan diterimanya oleh seorang atau dua orang atau sekelompok yang tidak sampai kepada tingkatan tawatir. Hanya saja keseluruhan lingkungan itu merupakan kelompok tawatir.


2. Tentang qath'i dan dhanni


Dari datangnya sunnah mutawatirah, itu pasti qath'i datang dari Rasulullah SAW, karena tawatir (bertubi-tubi)nya pemindahan itu menimbulkan ketetapan dan kepastian tentang sahnya berita tersebut. Sedang sunnah yang masyhurah, pasti datangnya dari sahabat yang telah menerimanya dari Rasulullah karena tawatir (bertubi-tubi)nya pemindahan dan penukilan dari para sahabat mereka, akan tetapi hal itu tidak pasti datangnya dari Rasulullah karena yang pertama kali menerimanya bukanlah kelompok tawatir. Karena itu kelompok Hanafiyah menganggap sunnah masyhur ini sebagai sunnah yang mutawatirah. Mereka berpendapat bahwa tingkatan sunnah masyhurah ini antara sunnah yang mutawatirah dan sunnah ahad.


Sunnah ahad adalah dhanni, sebab sanadnya tidak mendatangkan kepastian. Dapat diterima sebagai pasti apabila ada syarat-syaratnya memenuhi. (Misalnya perawinya dewasa, Islam, adil dan teliti).


Dari segi pengertian (dalalah) ketiga macam sunnah itu kadang-kadang pasti dalalahnya, apabila nashnya tidak ada kemungkinan untuk dita'wil, kadang-kadang dhanni dalalahnya apabila nashnya mungkin untuk dita'wilkan. Semua ini merupakan hujjah yang harus diamalkan.


Sunnah Rasulullah, ditinjau dari perbuatan beliau dibagi atas sunnah qauliyyah, fi'liyyah dan taqririyyah.


Yang dimaksud dengan sunnah qauliyyah ialah ucapan Nabi tentang sesuatu, sunnah fi'liyyah ialah perbuatan dan tindakan Nabi, dan sunnah taqririyyah itu ialah pengakuan, persetujuan atau sikap diamnya Nabi atas sesuatu perbuatan orang lain, sedangkan beliau mengetahuinya.


Ada pula yang menyebutkan sunnah hamiyah, yaitu sesuatu yang ingin dilakukan oleh Nabi, tetapi belum sampai beliau lakukan.


Sunnah kadang-kadang disebut juga dengan hadits atau khabar. Karena itu sudah umum juga disebut hadits mutawatir atau khabar mutawatir, hadits atau khabar ahad dan selanjutnya.


Sunnah-sunnah Rasulullah itu wajib kita laksanakan, menjadi hujjah bagi umat Islam, apabila ia keluar dan datang dari Rasulullah dalam kualitas beliau sebagai rasul, sebagai utusan Allah yang membawa syari'at, dan yang dengannya bertujuan membentuk hukum atau syari'at Islam Karena Nabi Muhammad SAW itu juga adalah manusia, sehingga bagaimana beliau duduk, bagaimana beliau tidur dan seumpamannya, tidaklah menjadi hujjah bagi kita. Disamping itu ada pula sunnah atau perbuatan yang khusus bagi Nabi, dan untuk itu kita tidak melakukannya, seperti isterinya lebih dari empat. Umat Islam tidak boleh melakukan perkawinan lebih dari empat orang isteri.


Hadits atau khabar ahad tersebut, menurut jumlah orang perawinya, dibagi pada sunnah yang masyhurah, atau hadits mutawatir, aziz dan gharib.


Dikatakan masyhur atau musta'fidl, apabila diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tingkatannya tidak mutawatir. Hadits yang masyhur ini ada yag shahih, dan ada pula yang tidak shahih.


Hadits aziz ialah yang diriwayatkan oleh dua, sekalipun dalam satu tingkatan, meskipun sesudah itu diriwayatkan oleh orang banyak.


Hadits gharib ialah hadits yang diriwayatkan oleh perseorangan. Disamping pembagian tersebut, ditinjau dari segi kualitasnya, hadits ahad dibagi kepada hadits shahih, hasan dan dha'if.


Hadits shahih ialah hadits yang bersambung-sambung sanadnya dari permulaan sampai akhir diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan teliti (dhabith) dari sesamanya pula dan di dalamnya tidak terdapat keganjilan (syadz) dan juga tidak terdapat 'illat di dalamnya.


Adapun hadits hasan, ialah hadits yang sanadnya bersambung-sambung dan diriwayatkan oleh orang yang adil, sekalipun ketelitiannya kurang, dan tidak mengandung keganjilan, serta tidak mengandung 'illat. Hadits ini dijadikan hujjah.


Hadits dla'if ialah hadits yang tingkatannya kurang dari tingkatan hadits hasan. Hadits ini bermacam-macam tingkatan kelemahannya. Hadits dla'if tidak dapat menjadi hujjah di dalam menetapkan hukum.


Imam Nawawi berkata, para ulama berpendapat hadits dla'if itu bisa digunakan untuk beramal apabila ia berisi keutamaan-keutamaan amalan. Asal untuk amalan tersebut sudah ada hadits yang lain yang shahih atau hasan yang menerangkan boleh beramal dengan amalan tersebut. Jadi dengan demikian, hadits yang dla'if ini hanya mengikuti saja kepada hadits yang shahih yang telah ada.


Termasuk di dalam pengertian hadits dla'if ialah hadits mursal, munqathi', mu'dhal, mu'allaq dan ma'lul.


Hadits mursal ialah hadits yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabi'. Jadi akhir sanad, yaitu sahabat tidak disebutkan.


Imam asy-Syafi'i dan Ahmad berpendapat hadits ini tidak bisa menjadi hujjah, karena kemungkinan seorang tabi' itu meriwayatkannya dari semua tabi' .Tetapi Abu Hanifah berpendapat dapat menjadi hujjah, karena tabi' itu termasuk di dalam angkatan yang dipuji oleh Rasulullah.


Disamping itu asy-Syafi'i memberikan syarat dalam menerima hadits mursal, yaitu apabila yang meriwayatkan seorang tabi'in besar, orang kepercayaan yang lain juga meriwayatkannya, ada hadits mursal yang lain yang sama, ada perkataan sahabat yang sesuai dengannya, dan hadits mursal itu sesuai pula dengan fatwa sebagian besar para ahli ilmu, apabila disebutlah nama perawi yang ditinggalkan, tidak akan disebut majhul dan juga perawi tidak akan dibenci. Akan tetapi, bagaimanapun hadits mursal tidaklah mempunyai kekuatan yang sama dengan hadits musnad.


Hadits munqathi' ialah hadits yang seorang perawinya yang bukan sahabat tidak disebut. Hadits ini tidak menjadi hujjah.


Hadits mu'dlal ialah hadits yang dua perawinya yang bukan sahabat tidak disebut. Hadits ini tidak dapat menjadi hujjah.


Hadits mu'allaq ialah hadits yang tidak disebutkan atau dibuang permulaan sanadnya, bukan permulaan atau akhirnya. Hadits ini dla'if, kecuali apabila diriwayatkan dengan cara yang pasti dan mantap. Apabila ia diriwayatkan dengan pasti dan mantap, menjadilah ia sama dengan hadits yang shahih.


Hadits ma'lul hadits yang mempunyai cacat yang dapat diketahui dari berbagai pemeriksaan dari berbagai jalan atau memang ada qarinah-qarinah yang menunjukkan demikian.


Mengetahui cacat dan cela hadits ('illat) amatlah penting. Hal ini untuk mengetahui kedudukan hadits. Karena itu 'ulumul hadits adalah penting untuk dipelajari untuk menghindarkan diri dari penggunaan hadits yang tidak dapat diterima.




Sumber Hukum


Sumber hukum syara' ialah dalil-dalil syar'iyah (al-Adillatusy Syar'iyah) yang daripadanya diistinbathkan hukum-hukum syar'iyah.


Yang dimaksud dengan diistimbathkan ialah menentukan/mencarikan hukum bagi sesuatu dari suatu dalil.


Kata al-Adillah () jama' (plural) dari kata dalil, yang menurut bahasa berarti petunjuk kepada sesuatu. Sedang menurut istilah ialah sesuatu yang dapat menyampaikan dengan pandangan yang benar dan tepat kepada hukum syar'i yang 'amali. Artinya dapat menunjuk dan mengatur kepada bagaimana melaksanakan sesuatu amalan yang syar'i dengan cara yang tepat dan benar.


Adillah ada dua macam. Yang pertama satu kelompok yang semua jumhur sepakat, sedang kelompok yang lainnya ialah yang terhadap hal tersebut para jumhur ulama berbeda-beda sikapnya. Kelompok yang mereka sepakati yaitu al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, al-Ijma' dan al-Qiyas.


Secara singkat al-Adillah itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Dalil itu ada yang berupa wahyu dan ada pula yang bukan wahyu. Yang berupa wahyu yaitu yang dibaca (matluwwun) dan yang tidak dibaca (ghairu matluwwin). Yang matluw ialah al-Qur'an sedang yang ghairu matluw ialah as-Sunnah. Yang bukan wahyu, apabila itu merupakan pendapat (ar-Ra'yu) para mujtahidin, dinamakan aI-Ijma', sedang apabila ia berupa kesesuaian sesuatu dengan sesuatu yang lain, karena bersekutunya di dalam 'illat () dinamakan aI-Qiyas.


Landasan dalil-dalil tersebut ialah hadits tentang Mu'az bin Jabal ketika diutus oleh Nabi Muhammad SAW sebagai hakim () di Yaman. Rasulullah bertanya kepada Mu'adz "Bagaimana kamu akan memutuskan terhadap suatu perkara yan datang kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutskan dengan KitabulIah." Nabi bertanya, "Kalau engkau tidak mendapatinya di dalam KitabuIIah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutus berdasar Sunnah Rasul." Nabi bertanya, "Kalau disitu juga tidak ada?" Mua'dz menjawab, "Saya akan berijtihad berdasar pendapatku dan saya tidak akan lengah." Nabi pun menepuk dada Mu'adz dan berkata "AlhamduIillah yang telah memberi taufik utusan RasululIah sesuai dengan apa yang diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya."


Baik dinukil haditsnya sebagai berikut:


"Abu Bakar RA, ketika beliau masih hidup, apabila terdapat sesuatu perkara beliau melihat dulu pada al-Qur'an, apabila di situ tidak terdapat dan beliau mengetahui di dalam as-Sunnah terdapat, beliau akan memutus berdasar as-Sunnah itu, dan apabila di situ tidak ada, beliau menghimpun tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang terpilih, kemudian beliau bermusyawarah dengan mereka. Seperti itu pula yang dilakukan oleh Umar, para sahabat dan semua orang Islam mengakui khiththah ini."


Berdasarkan semua ini, maka al-Adillah (dalil-dalil) itu ada yang naqliyah (yang dinukil) dan ada yang aqliyah (berdasarkkan fikiran). Yang naqli itu yaitu al-Kitab, as-Sunnah, al-Ijma' dan al-'Urf, Syari'at orang-orang sebelum kita, dan madzhab Shahabi. Sedang yang aqli yaitu al-Qiyas, al-Mashalihal Mursalah, al-Istihsan dan aI-Istishhab. Semua ini memerlukan kepada yang lain. Bagaimanapun ijtihad, hal itu terjadi atas landasan akal yang sehat dan juga berdasarkan naqli, sedang pada yang naqli itu tidak dapat tidak harus dilakukan perenungan, pemikiran dan pandangan yang sehat.


Al-Qur'an, as-Sunnah dan al-Ijma' merupakan sumber-sumber hukum yang berdiri sendiri, maksudnya apabila dibandingkan dengan al-Qiyas, tentu sangat berlainan. Sebab al-Qiyas itu menjadi sumber apabila terdapat sumbernya di dalam al-Kitab, as-Sunnah dan al-Ijma' dan juga memerlukan mengetahui 'illat hukum dari sesuatu yang asli. Tegasnya, sumber hukum yang berdiri sendiri sebagai sesuatu yang asli adalah al-Qur'an dan as-Sunnah. Setelah itu menempati urutan berikutnya al-Ijma' dan al-Qiyas. Imam asy-Syafi'iy menamakan aI-Qiyas juga dengan al-Ijtihad.


Cetak Kirim Kepada Teman

Arsip Pustaka Islam



Pustaka Islam tentang Ushul Fiqh lainnya :

As-Sunnah

Al-Kitab

Mahkum Fihi

Mahkum Bihi

Al-hakim

Sekitar Hukum

Madzhab Sahabat

Saddudz Dzariآ’ah

Istishhab

Syarآ’un man qablana

Urf

Mashlahat Mursalah

Istihsan

Qiyas

Ijmaآ’

Dalil Ijtihadi

Aliran-Aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh

Kegunaan mempelajari ilmu Ushul Fiqh

Objek Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh

Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh

Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh

Al-hakim

Menurut para ahli ushul, bahwa yang menetapkan hukum (al-Hakim) itu adalah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum AlIah ialah para rasuI-Nya.

http://www.cybermq.com/gambarpustaka/kum AlIah ialah para rasuI-Nya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.

Tidak ada perselisihan pendapat ulama syara' itulah yang menjadi hakim sesudah rasuI dibangkit dan sesudah sampai seruannya kepada yang dituju.

Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasuI dibangkit. Golongan Mu'tazilah berpendapat, bahwa sebelum rasuI dibangkit, akaI manusia itulah yang menjadi hakim, karena akaI manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.

OIeh karena itu mukalIaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oIeh akal. AlIah akan memberikan pahala kepada para mukallaf yang berbuat baik berdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana AlIah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantaraan syara'.

Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara' tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi'at: dipandang baik oleh akal dan yang tidak bersesuaian dengan tabi'at dipandang buruk oleh akal.

Titik perselisihan antara golongan Mu'tazilah dengan golongan Asy'ariyah ialah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara' belum menerangkannya, sedangkan golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara' kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan.

Seluruh kaum muslimin bersepakat, bahwa tidak ada hakim selain Allah, sesuai dengan firman Tuhan:

Artinya:
Tidak ada hukum melainkan bagi Allah. (al An'âm: 57)

Diantara dalil yang menguatkan pendapat jumhur ialah firman Allah:

Artinya:
Dan tidaklah Kami menyiksa sesuatu umat sehingga Kami bangkitkan seorang rasul. (al-Isrâ': 15)

Diantara dalil yang dipergunakan oleh golongan Mu'tazilah ialah firman Allah:

Artinya:
Katakanlah olehmu, tidak bersamaan dengan yang buruk dengan yang baik. (al-Mâidah: 100)

Sebagaimana terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah menyiksa manusia lantaran menyalahi rasul sebelum sampai kepada mereka seruan rasul-rasul itu dengan cara yang semestinya, demikian pula ada ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa hisab dan pembalasan umum secara adil diberikan juga berdasarkan bekasan-bekasan amal pada jiwa menurut petunjuk akal.

Mengenai soal apakah hukum-hukum Allah itu disyari'atkan harus sesuai dengan kemaslahatan hamba atau tidak, seluruh ulama sepakat bahwa hukum-hukum Allah itu bersesuaian dengan kemaslahatan hamba.

Sekitar Hukum

Yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.

Menurut bahasa, hukum diartikan:

Artinya:
Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.

Menurut istilah ahli Ushul Fiqh, hukum adalah:

Artinya:
Titah Allah (atau sabda rasuI) yang mengenal pekerjaan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik titah itu mengandung tuntutan, suruhan atau larangan, atau semata-mata menerangkan kebolehan, atau menjadikan sesuatu itu sebab, atau syarat atau penghalang bagi sesuatu hukum.

Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum ialah bekasan dari titah Allah atau sabda rasul. Apabila disebut hukum syara', maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.

Dengan memperhatikan pengertian hukum sebagaimana tersebut di atas, maka nyatalah bahwa hukum itu ada yang mengandung thalab (tuntutan), ada yang mengandung keterangan sebab, syarat, mani' (pencegah berlakunya hukum), sah, batal, rukhshah dan azimah.

Hukum yang mengandung tuntutan (suruhan atau larangan) dinamai hukum taklify, hukum yang mengandung takhyir (kebolehan mengerjakan dan tidak mengerjakan) dinamai hukum takhyiriy, hukum yang menerangkan sebab, syarat, mani', sah, batal, azimah dan rukhshah dinamai hukum wadI'iy.

Kebanyakan ulama membagi hukum kepada dua jenis saja, yaitu hukum taklify dan hukum wadl'iy. Berikut ini penjelasan masing-masing sebagai berikut:

1. Hukum taklify.

Dari kalangan para ahli Ushul Fiqh diperoleh keterangan, bahwa titah-titah agama yang masuk ke dalam taklify ada empat macam yaitu:

a. Ijab (mewajibkan)

Yaitu titah yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, umpamanya firman Ailah:

Artinya:
Sembahlah olehmu akan Allah. (an-Nisâ': 35)

Bekasan ijab disebut wujuh dan pekerjaan yang dikenai hukum wujub disebut wajib.

b. Nadb (anjuran supaya dikerjakan)

Yaitu titah yang mengandung suruhan yang tidak musti dikerjakan, hanya merupakan anjuran melaksanakannya. Ketidakmustian dikerjakan itu diperoleh dari qarinah diluar suruhan itu, umpamanya firman Allah:

Artinya:
Apabila kamu hutang dengan berjanji akan membayarnya pada ketika yang telah ditentukan, maka tulislah hutang itu. (al-Baqarah: 282)

Suruhan menulis atau membuat keterangan tertulis tidak bersifat musti melainkan merupakan anjuran, sebab pada akhir ayat tersebut Allah berfirman lagi:

Artinya:
Maka jika satu sama lain saling mempercayai, hendaknya si yang dipertaruhkan amanat kepadanya (yang berhutang) menunaikan amanat itu dan hendaklah ia takut kepada Allah. (al-Baqarah: 283)

Titah yang serupa ini disebut nadb bekasannya disebut nadb, dan pekerjaannya disebut mandub atau sunat.

c. Tahrim (mengharamkan)

Yaitu titah yang mengandung larangan yang musti dijauhi, umpamanya firman Allah:

Artinya:

Janganlah kamu mengatakan cis kepada ibu bapakmu (mencibirkan ibu bapakmu), dan janganlah kamu menghardik keduanya. (al-Isrâ': 23)

Titah ini dinamai tahrim, bekasannya disebut muhram, pekerjaannya dinamai haram atau mahdhur.

d. Karahah (membencikan)

Yaitu titah yang mengandung larangan namun tidak musti dijauhi. Ketidakmustian kita menjauhinya itu diperoleh dari qarinah-qarinah yang terdapat di sekelilingnya yang merubah larangan itu dari musti ditinggalkan kepada tidak musti ditinggalkan, umpamanya firman Allah:

Artinya:
Apabila kamu diseru kepada shalat Jum'at di hari Jum'at, maka bersegeralah kamu ke masjid untuk menyebut Allah (mengerjakan shalat Jum'at) dan tinggalkanlah berjual beli. (al-Jumu'ah: 9)

Dalam ayat ini perkataan tinggalkanlah berjual beli, sama artinya dengan jangan kamu berjualan, hanya saja karena larangan berjual beli di sini sebagai sebab di luar dari pekerjaan itu, maka larangan di sini tidak bersifat mengharamkan, melainkan hanya memakruhkan.

Titah semacam ini disebut karohah, bekasannya disebut karihah, pekerjaannya disebut makruh.

Jumhur ahli ushul fiqh tidak membedakan antara titah yang mengandung suruhan yang musti dikerjakan yakni antara titah yang qath'iy dengan titah yang dhanniy, keduanya disebut ijab atau fardl.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa titah yang mengandung suruhan yang musti dikerjakan itu kalau qath'iy disebut fardl, kalau dhonniy disebut ijab.

Titah yang mengandung suruhan yang tidak musti dikerjakan mereka bagi sunnahnadb. Titah yang mengandung larangan yang musti dijauhi, kalau qath'iy dinamai tahrim, kalau dhonniy dinamakan karohah tahrim. Yang disebut karahahkarohah tanzih. dan oleh Jumhur mereka namai

Titah-titah yang dikerjakan untuk menyempurnakan hukum-hukum yang wajib semisal adzan, mereka namai sunnah hadyin.

Dengan demikian maka hukum menurut ulama Hanafiyah dibagi kepada delapan macam, yaitu: (1) Fardlu; (2) Ijab; (3) Tahrim; (4) Karahah Tahrim; (5) Karahah Tanzih; (6) Sunnatu Hadyin, (7) Nadb; dan (8) Ibadah.

2. Hukum takhyiry

Hukum takhyiry ialah titah yang memberikan hak memilih atau ibadah, yakni titah yang menerangkan kebolehan kita mengerjakan atau tidak mengerjakan pekerjaan yang dititahkan. Titah itu dinamai ibadah, sedangkan pekerjaannya dinamakan mubah.

3. Hukum Wadl'iy

Al-Amidi dalam kitabnya al-lhkam menerangkan bahwa hukum wadl'iy itu ada tujuh macam, sebagai berikut:

  1. Titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebab bagi wajib dikerjakan suatu pekejaan, misalnya firman Allah:

Artinya:
Maka barangsiapa menyaksikan (melihat) bulan daripada kamu, maka hendaklah ia berpuasa. (al-Baqarah: 185)

  1. Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu, misalnya sabda Rasulullah SAW:

Artinya:
Allah tiada menerima shalat salah seorang diantara kamu bila dia berhadats sehingga ia berwudlu.

Berdasarkan hadits tersebut nyatalah bahwa suci dari hadats ditetapkan sebagai syarat bagi diterimanya shalat.

  1. Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu menghalangi berlakunya (sahnya) sesuatu hukum, umpamanya sabda Rasulallah SAW:

Artinya:
Janganlah seseorang itu menyepi dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertainya.

  1. Titah yang menerangkan sahnya suatu pekerjaan, yaitu apabila kita diperintah mengerjakan suatu pekerjaan dan telah memenuhi sebab dan syaratnya serta terlepas dari penghalangnya, yakinlah kita bahwa pekerjaan itu telah menjadi sah, melepaskan diri dari tugas-tugas pelaksanaannya

  2. Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu batal, tidak dipandang sah, tidak dihukum terlepas yang membuatnya dari tugas.

  3. Titah yang menetapkan atas para mukallaf, tugas-tugas yang diberatkan sebagai suatu hukum yang umum, bukan karena suatu pengecualian, disebut azimah. Bekasan dari azimah disebut azimah, pekerjaannya disebut azimah.

  4. Titah yang memberi pengertian, bahwa hukum yang dimaksudkan itu sebagai ganti dari hukum azimah, yakni yang dikerjakan lantaran dipandang sukar menjalankan yang azimah. Bekasannya disebut rukhshah, pekerjaannya disebut rukhshah pula.


Madzhab Sahabat


Pendapat sahabat dapat dijadikan hujjah, bila pendapat sahabat tersebut diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW.

1. Pengertian

Semasa RasululIah SAW masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada RasululIah SAW, dan RasululIah SAW memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah RasululIah SAW meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam mengistinbathkan hukum, telah berusaha sungguh-sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diiwayatkan oleh tabi'in, tabi'it tabi'in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadits. Karena itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah atau tidak?

2. Pendapat-pendapat ulama

Sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:

a. Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW, karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyiah RA:

Artinya:

"Kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan) lebih dari sepanjang bayang-bayang benda yang ditancapkannya." (HR. Daraquthni)

c. Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyalahkannya, seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada sahabat yang tidak sependapat dengannya.

Sedang pendapat sahabat yang tidak disetujui oleh sahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah dan Ahmad bin Hanbal dan sebagian Syafi'iyah, dan didahulukan dari qiyas. Bahkan Ahmad bin Hanbal mendahulukannya dari hadits mursal dan hadits dha'if.

As-Syaukani menganggap pendapat sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak harus kita mengikutinya.

Saddudz Dzari’ah

Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan.

1. Pengertian saddudz dzarî'ah

Saddudz dzarî'ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî'ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî'ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.

Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari'at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.

Inilah yang dimaksud dengan kaidah:

Artinya:

"Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula."

Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.

Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.

2. Dasar hukum saddudz dzarî'ah

Dasar hukum dari saddudz dzarî'ah ialah aI-Qur'an dan Hadits, yaitu:

a. Firman Allah SWT:

Artinya:

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (al-An'âm: 108)

Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.

b. Dan firman Allah SWT:

Artinya:

"...Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nûr: 31)

Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

c. Nabi Muhammad SAW bersabda:

Artinya:

"Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

3. Obyek saddudz dzarî'ah

Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:

  1. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.

  2. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.

Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî'ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.

Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:

  1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.

  2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.

  3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.

Yang no. 1 disebut dzarî'ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang no. 2 dan 3 disebut dzarî'ah dha'ifah (jalan yang lemah).

Istishhab


Para Ulama memahami Istishhab dengan berbagai versi, diantaranya, Istishhab diartikan segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.

1. Pengertian

'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.

Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yaang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.

Dari pengertian istishhab yang dikemukakan para ulama di atas, dipahami bahwa istishhab itu, ialah:

  1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.

  2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.

Contoh istishhah

1. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhab.

2. Menurut firman Allah SWT:

Artinya:

"Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu (manusia)." (al-Baqarah: 29)

Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.

2. Dasar hukum istishhab

Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, tentulah akan terjadi perselisihan antara A dan C atau akan terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah (batal) dan antara yang halal dengan yang haram.

Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishhab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishhab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishhab dapat dijadikan dasar hujjah.

Sebagian besar mengikuti Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i, Madzhab Hambali dan Madzhab Dzahiri berhujjah dengan istishhab, hanya terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya, seperti pernyataan Abu Zaid, salah seorang ulama Madzhab Hanafi istishhab itu hanya dapat dijadikan dasar hujjah untuk menolak ketetapan yang mengubah ketetapan yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum baru.

Jika diperhatikan proses terjadi atau perubahan undang-undang dalam suatu negara atau keputusan pemerintah, maka istishhab ini adalah kaidah yang selalu diperhatikan oleh setiap pembuat undang-undang atau peraturan.

3. Macam-macam istishhab

Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:

a. Istishhab berdasar penetapan akal

Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerjakan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara' yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecualikan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.

Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:

1.

Artinya:

"(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan)."

2.

Artinya:

"(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan."

3.

Artinya:

"(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan."

b. Istishhab berdasarkan hukum syara'

Sesuai dengan ketetapan syara' bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara' itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara' yang pernah ditetapkan.

Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:

1.

Artinya:

"(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu."

2.

Artinya:

"(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya."

3.

Artinya:

"(Menuru hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hai sobat blogger, aku akan membalas komentar sobat.

Movie & TV Show Preview Widget

Book Author : Dostoyevsky